Aku memanggilnya darling. Kadang-kadang kupanggil dia dengan sebutan sweetheart atau cukup dengan kata sayang. Namun sehari-hari kami membahasakan diri “lu” dan “gue”. Aku ingin ia tak berjarak padaku, jadi kuingin dia menyapaku dalam sapaan yang paling akrab di lingkungan Jakarta, yaitu “lu” dan “gue”.
Panggilan itu begitu cepat berubah ketika ada penekanan yang perlu kusampaikan agar dia memberikan perhatian penuh. Misalnya aku mengubah sebutan “gue” menjadi mama. Perubahan itu kulakukan kalau aku ingin memberi aksen pada hubungan orang tua dan anak. Kedekatan, kehangatan. Pada saat tertentu kata ganti orang pertama kuganti dengan kata saya, yang akan langsung membuatnya terkesiap, tersadar, bahwa ada sesuatu yang tidak tepat telah dilakukannya. Biasanya perubahan kata ganti menjadi saya langsung membuat suasana menjadi lebih formal. Tak ada landasan pemikiran yang baku ketika di awal mula harus memilih panggilan.
Aku dan suamiku memilih sapaan “lu” dan “gue” pada anak kami, tiada lain karena keinginan menipiskan jarak antara anak dan orang tua. Kami ingin menjadi orang tua, tempat bertanya, sekaligus teman dalam menempuh perjalanan hidup yang memang tidak mudah. Kesenjangan antargenerasi merupakan sebuah kepastian. Tak mungkin menghindari perbedaan cara pandang, cara pikir, maupun cara menilai hidup dan kehidupan dalam perbedaan usia yang cukup jauh. Kami hanya berpikir, perbedaan bisa dijembatani dengan komunikasi. Maka ketika komunikasi diciptakan dalam rentang jarak yang sangat tipis, bisa jadi perbedaan-perbedaan cara pandang yang bisa menjadi pertentangan abadi, bisa diminimalisir.
Menginspirasi
Kami tidak pernah merasakan dampak dari cara masing-masing kami menyapa sampai pada suatu ketika anak semata wayang kami ini menyampaikan komentar teman-temannya tentang cari kami memanggil. Ada nada bangga dari ceritanya bahwa dia memiliki kedekatan hubungan dengan orang tuanya sampai merasa layaknya teman.
Suatu hari ketika aku mengunjungi anakku yang bersekolah di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta pada akhir semester pertama, aku harus menunggunya pulang sekolah sampai menjelang maghrib. Lama menunggu hingga membuatku kelelahan dan tertidur hingga ia pun membangunkanku.
“Hai darling…” begitu aku memanggil seperti biasa
“Hai Mam…” balasnya sambil memelukku Setelah saling sapa seperti biasa, aku pun menyadari aroma tajam asap rokok.
“Wah, hari ini elu ngumpul ama perokok ya?” Dia tak langsung menjawab, tapi mengubah posisi rebahan menjadi duduk. Lalu dia pun mulai bicara serius. Biasanya ia mengubah panggilan untuk dirinya sendiri dengan menyebut namanya sebagai kata ganti orang pertama. Ia mengatakan bahwa beberapa hari ini dia mulai merokok bersama teman-temannya. Ia pun menjelaskan terlambat pulang karena takut aroma rokok di tubuhnya akan membuatku marah.
“Ma… boleh gak aku merokok,” kemudian bertanya.
“Kamu punya penyakit asma dan beberapa kali kambuh saat masih kecil,” kataku tanpa memberi jawaban ya dan tidak.
“Aku tahu, aku bisa menjaga diri,” katanya kemudian. Sejenak aku tak bisa berkata-kata. Anak kecilku sudah merokok. Aku berusaha tidak menunjukkan kekagetanku karena begitu ekspresiku berubah, maka dia pun akan menjadi khawatir dan tak mau bercerita lebih lanjut tentang apa yang dialaminya. Lalu aku pun mulai bertanya.
“Kalau mama bilang tak boleh merokok, apakah kamu tetap akan merokok?” Ia terdiam sesaat kemudian dia pun menjawab, “ya mungkin tetap akan merokok”.
“Mama di Jakarta, kamu di Yogya. Kalau mama bilang gak boleh merokok, mama tetap saja tak bisa mengontrolmu apakah kamu merokok atau tidak. Mama cuma bisa bilang bahwa kamu enggak boleh merokok, tetapi kalau kau terpaksa harus merokok, kau harus ingat bahwa kau tidak boleh dikontrol oleh rokok. Kaulah yang harus mengontrol seberapa banyak rokok yang sudah kau hisap,” kataku panjang lebar.
Jawaban yang sungguh klise. Bisakah kita mengontrol candu? Kemudian ia memelukku erat-erat sambil mengucap terima kasih atas pengertianku karena pada akhirnya tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku.
Jelas aku merasa kecewa karena anakku mulai merokok, apakah bisa sembuh dari candu rokok? aku sendiri ragu. Namun satu hal aku harus bangga karena ia menyampaikannya secara langsung dan tidak sembunyi-sembunyi di belakangku. Esok harinya sepulang sekolah ia pun menciumiku, tampak senang sekali. “Mama… gua cerita ke teman-teman kalau gua udah sampaiin ke mama soal merokok,” katanya. Ia menambahkan bahwa apa yang telah kami bicarakan sebelumnya telah menginspirasi teman-temannya untuk meminta izin orang tuanya.
Pengalaman itu tidak sedramatis ketika ia mulai menceritakan gejala pubertas saat ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kedekatan kami membuat ia menceritakan apa pun yang dialaminya. Bagiku, itu merupakan sebuah anugerah karena dialog terbuka yang kami lakukan sangat memudahkan bagi kami, orang tua dan anak untuk mendiskusikan berbagai persoalan hidup yang makin lama semakin tidak mudah. Persoalan hidup hampir tidak pernah berubah tetapi bagaimana cara kita menyikapi dan menyelesaikan persoalan itulah yang makin lama makin kompleks karena lingkungan yang mempengaruhinya pun mengalami perubahan. Hai darling….