Aku dan keponakanku, Ola, keheranan melihat jumlah nasi yang berlebih di meja makan. Sebulan terakhir ini aku memang mendorongnya mengembangkan keahliannya memasak untuk memperoleh penghasilan tambahan. Sudah dua minggu terakhir ia mampu mengukur berapa banyak beras yang harus dimasak untuk sejumlah pesanan tanpa menyisakan nasi dalam jumlah berlebih.
“Kok bisa sih…” Aku bertanya tanpa perlu ada yang menjawab.
“Tak apa lah, kalau hari ini kita enggak cape, kita bawa aja nasi kuning ke rumah Oma,” kataku mencari penyelesaian atas nasi yang berlimpah ruah. Aku dan Ola memang sudah berencana menjenguk kakak mertuaku, yang dipanggil Oma oleh Ola. Sudah delapan tahun beliau menderita stroke dan beberapa hari terakhir sudah tak mau makan.
Aku meyakini bahwa nasi yang berlebih dibanding biasanya itu memiliki hubungan dengan kabar per telepon yang menginformasikan “berpulangnya” Oma.
Ini nasi, kemungkinan Oma yang memintanya, buat sanak saudara yang akan berdatangan, ujarku kepada Ola setelah menyampaikan kabar duka cita itu.
Firasat. Barangkali itu bisa menjelaskan antara nasi kuning berlebih dengan kabar duka cita. Dalam tradisi Jawa, ada firasat untuk memberi tanda meninggalnya saudara dekat. Ibuku pernah mengalami nasi yang cepat basi sekalipun dimasak dengan cara yang sama dengan biasanya. Nasi yang baru dimasak pagi hari sudah basi di siang atau sore hari. Kalau itu yang terjadi, ibuku akan menggumam, firasat apakah ini? Adakah saudara yang sedang sakit? Kalau dari daftar saudara yang diingat Ibu ternyata memang ada yang sedang sakit, maka beliau akan buru-buru menjenguk untuk menjawab “kiriman” pesan yang disampaikan melalui nasi basi.
Aku tidak mengalami nasi basi untuk firasat yang dikirim Oma. Tapi aku pun meyakini bahwa apa yang terjadi saat ini pada detik ini, bukanlah sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Sebuah kejadian selalu terkait dengan kejadian lainnya. Ada sebuah keteraturan, sebuah pola, sebuah kepastian untuk setiap hal yang terjadi di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Sebagai contoh, lihatlah struktur angka berikut ini yang dikirim oleh seorang teman. Pasti ada penjelasan ilmiah untuk urut-urutan angka berikut.
1 x 8 + 1 = 9
12 x 8 + 2 = 98
123 x 8 + 3 = 987
1234 x 8 + 4 = 9876
12345 x 8 + 5 = 98765
123456 x 8 + 6 = 987654
1234567 x 8 + 7 = 9876543
12345678 x 8 + 8 = 98765432
123456789 x 8 + 9 = 987654321
Kalau mau lebih ilmiah, temuan Edward Norton Lorenz yang pernah kubaca di sebuah majalah bisa menjelaskan bahwa sebuah kejadian tidak berdiri sendiri. Melalui simulasi komputer, Lorenz memprediksi cuaca dengan membulatkan angka yang diperoleh ke dalam desimal 0,506. Ia menemukan sebuah fakta yang mengejutkan ketika bilangan desimal yang diperolehnya dimasukkan selengkapnya. Angka terkecil yang berada di deretan angka desimal itu ternyata memberi dampak yang sangat jauh berbeda. Angka terkecil itu setara dengan sebuah kepakan sayap kupu-kupu. Sebuah kepakan sayap kupu-kupu itulah yang memberi perubahan yang sangat luar biasa dalam prediksi cuaca yang dia lakukan. Karena dalam sebuah kepakan sayap kupu-kupu ia bisa memprediksi terjadinya badai tornado.
Apa yang ditemukan Lorenz kemudian dikenal dengan sebutan The Butterfly Effect. Temuan Lorenz yang memang dilakukan secara random itu seringkali digunakan untuk menjelaskan bahwa setiap kejadian yang dialami umat manusia pada dasarnya merupakan peristiwa yang bersifat acak namun kait-mengait antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Kita baru menyadarinya setelah sebuah peristiwa terjadi.
Langkah kecil, bahkan sekecil kepakan sayap kupu-kupu pun bisa mengubah dunia. Karena setiap perbuatan besar pada dasarnya selalu diawali oleh sebuah langkah kecil. Sebuah perbuatan—baik maupun buruk—harus kita sadari bahwa perbuatan itu berkaitan dengan peristiwa yang sudah, sedang, dan akan kita hadapi.
Maka, jangan pernah berhenti untuk berbuat baik, sekecil apa pun itu.