Untuk anak perempuanku yang sedang menghadapi dilema

Wahai perempuan di seluruh dunia yang mungkin saja membaca tulisan ini, aku ingin berkata kepadamu. Di masa kecil, aku sering mendengar percakapan di antara perempuan-perempuan yang sudah menikah. Misalnya saja seperti ini,

“Lihat tuh si Leni, ditinggal suaminya selingkuh. Dia sih terlalu sibuk bekerja. Cantik sih iya, tapi kalau suami dicuekin ya jelaslah berpaling pada perempuan lain…”
Lalu lawan bicaranya menimpalinya agar pembicaraan makin hangat, misalnya, ”Masa sih cantik begitu masih ditinggal selingkuh?” Bisa Anda lanjutkan sendiri kemungkinan-kemungkinan perkembangan pembicaraan.

Ada pula yang berkomentar tentang kehidupan perkawinan temannya dengan ungkapan sebagai berikut:

“Jelas aja suaminya selingkuh, lah, dianya enggak menjaga penampilan… sehari-hari cuma pake daster kalau di rumah. Badan udah gembrot begitu, pastilah suaminya lari…”
Ahai… bahkan di depan perempuan lainnya pun, perempuan yang suaminya berselingkuh justru dipersalahkan. Tidak menjaga penampilan, sudah tidak peduli dengan suami, tidak pandai melayani suami, dan sebagainya.

Stop Salahkan Perempuan
Stop menyalahkan perempuan, apalagi kalau Anda pun perempuan. Perselingkuhan adalah soal menjaga komitmen. Perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam hal berselingkuh. Aku banyak mendengar dan melihat sendiri bagaimana kehidupan perkawinan tak sehalus kain sutra india.

Siapa yang berselingkuh, dialah yang salah. Ingat, apa pun alasannya, peselingkuh adalah pihak yang bersalah, karena dia telah melanggar komitmen, melanggar janji suci. Bukan karena badan perempuan yang sudah melar karena beranak yang menjadi sebab laki-laki berselingkuh, tetapi karena laki-laki itulah yang tak bisa menjaga komitmen perkawinannya. Dia tidak menghargai dirinya sendiri.

Jadi jangan pernah menyalahkan daster sebagai sumber perselingkuhan, atau selulit yang menyebabkan laki-laki berpaling, bahkan menjadikan ketidakmahiran memasak di dapur sebagai alasan “jajan” di luar rumah.

Aku mendengar dan menyaksikan perempuan mengeluh dan menangis menghadapi laki-laki yang telah menjadi suaminya. Aku melihat bagaimana perempuan bekerja keras menguruskan badan atau berdandan habis-habisan, sekalipun di dalam rumah, ketika tahu suaminya berselingkuh. Tak ada yang salah dengan itu semua. Akan tetapi, perempuan yang menguruskan badan atau berdandan cantik harus mendasari keputusannya itu bukan karena supaya suaminya tidak berselingkuh, tetapi karena perempuan itu memang mengingininya.

Hukuman Seumur Hidup
Wahai perempuan di seluruh dunia yang mungkin saja membaca tulisan ini, aku ingin bercerita kepadamu. Adalah sebuah rumah tangga yang harmonis di penampakan, hingga badai mempertunjukkan apa yang sebenarnya ada dalam rumah tangga itu. Lelaki yang telah memiliki dua anak dari pernikahannya dengan seorang dokter gigi diultimatum untuk meninggalkan isteri dan dua anaknya ketika terbukti berselingkuh.

Entahlah gejolak macam apa yang terjadi di dalam hati perempuan yang selalu kugambarkan memiliki ketegaran jiwa yang luar biasa. Ia tak memberi pilihan pada suaminya kecuali meninggalkan rumah, dan mengawini perempuan yang telah diselingkuhinya itu. Siapakah perempuan yang mau menjadi janda? Dan ia membuktikan cintanya pada sang suami dengan tidak menikah lagi. Ia memilih membesarkan kedua anaknya.

Hukuman atau hadiahkah perkawinan setelah perselingkuhan itu? Mungkin di awal kita katakana betapa bodohnya perempuan itu memberikan suaminya untuk perempuan yang telah merebut hati suaminya. Tetapi ternyata, sepanjang kehidupan perkawinan mantan suaminya dengan perempuan yang diselingkuhinya itu tak pernah indah. Mereka hidup serumah, tapi lelaki itu selalu berada di bawah bayang-bayang rasa bersalah. Kehancuran hati isteri pertamanya yang telah “menghadiahi” perkawinan dengan perempuan yang telah diselingkuhinya itu seolah beban berat yang tak pernah bisa diletakkannya sampai ajal menjemputnya…

Tak ada yang menang dalam sebuah perselingkuhan. Apakah kemudian isteri pertama yang telah mengambil keputusan atas kesalahan suaminya itu merasakan kebahagiaan karena sudah melihat lawannya menderita? Tidak mungkin ada orang yang senang melihat orang yang dicintainya hidup menderita. Tetapi ia telah menunjukkan pada dunia, bahwa perempuan memiliki pilihan. Hidup dalam kebohongan dan tipu daya sepanjang masa, atau tenteram dalam kesendirian.

Menemukan Jati Diri
Wahai perempuan di seluruh dunia yang mungkin saja membaca tulisan ini, aku ingin berkata kepadamu. Ada pula perempuan yang karena karirnya melaju lebih cepat dari suaminya, harus menghadapi perselingkuhan suaminya karena sang suami merasa terabaikan. Apakah perempuan itu menghentikan karirnya? Tidak. Ia melanjutkan berkarier meskipun dengan susah payah tetap menjaga agar rumah tangganya berjalan normal.

Lalu suaminya pun menenggelamkan dirinya dalam jeratan narkoba untuk melupakan “kehebatan” karir sang isteri. Bertahun-tahun ia tenggelam dengan perempuan lain dan narkoba. Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali membiarkan suaminya pergi dan menemukan jati dirinya sendiri. Tiga tahun lelaki itu pergi dari rumah meninggalkan isteri dan anaknya. Siapakah yang mengalami kehancuran? Suaminya berada dalam kehancuran yang sangat kelam. Isterinya berada dalam kepedihan yang sangat dalam, dan jangan salah, anaknya pun berada dalam kebimbangan yang mencekam. Tidak ada yang menang.

Setelah tiga tahun, suaminya kembali. Menyadari kesalahannya, dan tetap menjadi pengangguran.

Wahai perempuan di seluruh dunia yang mungkin saja membaca tulisan ini, ada pula perempuan yang memilih jalan konfrontasi terbuka. Ketika mencium aroma perselingkuhan yang dilakukan suaminya, ia berlaku bak detektif yang melakukan penyelidikan tentang apa dan bagaimana kelakuan suaminya ketika di luar rumah.

Jerih payahnya tidak sia-sia, karena sepulang kerja, suami yang minta izin karena ada pekerjaan sehingga perlu lembur itu ternyata meluncur ke tempat hiburan. Setelah jeda waktu yang diperkirakan cukup, perempuan itu masuk ke tempat hiburan dan menemukan laki-laki yang adalah juga suaminya itu sedang berpelukan dengan perempuan lain. Damn… pertengkaran pun terjadi, pengakuan dari sang suami tidak membuatnya menghentikan peran palsunya sebagai detektif.

Setelah kejadian itu, aku tak pernah melihat lelaki itu menjadi lelaki seperti yang dikenal sebelumnya. Ia selalu berada dalam tekanan. Control melalui telepon maupun melalui kawan-kawannya selalu dilakukan isterinya untuk mengecek apa yang dilakukan suaminya. Perkawinan mereka utuh, tetapi apakah ada makna perkawinan dalam hidup kebersamaan mereka?

Hidup Itu Pilihan
Hidup adalah pilihan. Itu juga berlaku bagi perempuan yang saat ini berada dalam kebimbangan akibat perselingkuhan suami. Apakah kamu orang yang paling malang di dunia? Tidak. Jangan sekali-kali perempuan yang suaminya berselingkuh menganggap dirinya sedang menerima azab dari Tuhan. Ini adalah konsekuensi dari pilihan yang sudah kita tentukan.

Sejenak menengoklah ke belakang. Apakah sebelum memutuskan menerima pinangan, seorang perempuan tidak memiliki pilihan? Seringkali datang silih ganti lelaki yang mencoba mengambil hati perempuan. Tetapi lelaki yang kini menjadi suami itulah yang dipilih. Jadi ini adalah risiko dari pilihan, bukan laknat atau bahkan hukuman.

Situasi kalut memang tak bisa dihindarkan. Tak ada cara lain kecuali mendekatkan diri pada Tuhan agar keputusan yang diambil sekali seumur hidup itu memberi kebahagiaan di sisa waktu yang masih ada. Sekali perempuan memaafkan peselingkuh, maka perselingkuhan berikutnya mungkin saja terjadi. Sekali perempuan memutuskan untuk meninggalkan suaminya, maka kemungkinan untuk rujuk pun sangat kecil. Berdoalah… mungkin doa tak secara langsung menjawab kegalauanmu, tetapi doa bisa memberimu kelegaan karena ketika kita berdoa, kita tahu ada Tuhan yang maha mendengar sedang mendengarkan keluh kesahmu. Maka jangan putus berdoa…