(SEBUAH CERPEN)
Sudah puaskah engkau menertawakanku?
Aku berhenti menangis ketika kusadari beban hidupku adalah permainanmu. Aku menerima kembali lelaki yang kusodorkan untuk menjadi pendamping hidupku meskipun bertahun-tahun ia menjejaliku dengan perbuatan kotor menjijikkan. Aku menerimanya karena kutahu dalam setiap hembusan nafasku kau coba mempengaruhiku untuk meninggalkannya.
Apalagi yang kau inginkan dariku?
Gugatan Larasati tak pernah berhenti. Sejenak ia melupakan bayangan suaminya yang dulu sungguh dikaguminya.
“Sudah lima hari mobil laku dijual, mana dong bagian untukku? Paling tidak kasih pinjaman buatku,” kata Bagas sambil berlalu keluar dari WC. Ia sempat melirik pada Larasati yang sedang memoleskan lipstick di bibirnya.
Enggan menjawab gugatan itu, ia menjawab sekenanya dan kembali melanjutkan aktivitasnya.
Kau keras kepala.
Aku memang harus keras kepala.
Kau tak iba pada suamimu
Kau seharusnya lebih memahami tidak sekadar pada persoalan sesaat saja
Kau punya uang banyak
Uang siapakah yang kau maksud? Pernahkah Bagas mempedulikanku dan anakku? Mobil yang kujual adalah mobil hasil jerih payahku, mobil yang kubayar secara kredit dengan menyisihkan sebagian gajiku. Jadi atas hak apakah Bagas meminta uang bagian penjualan mobil? Aku meminjamkan mobil itu untuk dipakainya sesuka hatinya. Adakah hasil dari barang yang sudah kupinjamkan itu? Satu tahun bukan waktu yang pendek. Ia bisa memanfaatkannya untuk segala keperluannya tapi apakah yang sudah dilakukan pada mobil itu kecuali meninggalkan baret-baret dan abu rokok yang sangat kotor?
Larasati mengatur sendiri nafasnya. Ia ingat latihan pernafasan yang diberikan instruktur Yoga. Ambil nafas panjang melalui hidung, tahan di perut, hembuskan pelan-pelan melalui mulut. Nafas Larasati kembali normal.
Kau menjual mobil yang kau pinjamkan pada suamimu dan kau mengendarai mobil mewah dengan sopir pribadi. Adilkah itu?
Aku tak adil kalau kubiarkan suamiku berjalan kaki atau mengendarai motor. Ia masih bisa menggunakan mobil yang lain, mobil yang lebih baik dari mobil yang baru saja kujual.
Kau tak ingin dia maju
Justru inilah jalan satu-satunya yang dapat membuatnya maju.
Nafas Larasati kembali tersengal. Ia tak segera menjawab. Ia kembali pada lima belas tahun yang lalu. Ia menjadi penulis baru di sebuah penerbitan. Pekerjaannya melakukan wawancara dengan berbagai narasumber. Kalau Bagas sedang berbaik hati maka ia akan mengantar Larasati sampai ke kantor. Akan tetapi baik hati Bagas pada Larasati bisa dihitung dengan jari. Bahkan ketika Larasati sedang hamil pun lebih banyak teman sekantor yang mengantarnya pulang daripada ayah bayi yang ada di kandungannya.
Badai pertama menghantam Larasati ketika anaknya lahir. Bagas berhenti dari tempat kerja yang memberinya gaji cukup, fasilitas mobil, dan sejumlah kemewahan lain.
“Aku tak mau jadi pegawai. Aku mau memulai usaha sendiri,” ujar Bagas ketika Larasati mempertanyakan alasan Bagas berhenti bekerja.
Mulailah Bagas berpetualang dengan cara-cara yang sama sekali tak pernah disetujui Larasati. Ia membuka bimbingan belajar tanpa dirinya sendiri mengajar. Ia berjualan dengan system Multi Level Marketing. Lebih besar biaya yang harus dikeluarkan daripada uang yang diperolehnya.
Modal yang berasal dari tabungan habislah sudah. Maka kartu kredit menjadi alternative pembiayaan. Sudah tidak mungkin lagi nama Bagas dan Larasati mengajukan kartu kredit karena keduanya sudah memiliki sepuluh kartu kredit yang kesemuanya overlimit. Larasati tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Bagas pun tak kenal lelah. Ia menciptakan identitas-identitas baru untuk mengeruk dana perbankan melalui kartu kredit. Beruntunglah krisis financial yang turut melanda Indonesia berimbas pada penutupan bank sehingga Larasati maupun Bagas terbebas dari kepungan debt collector.
Larasati ingat bagaimana ia harus terus menghidupi anak semata wayangnya sementara Bagas sibuk dengan urusannya sendiri. Buntu dengan pembiayaan kartu kredit palsu, Bagas mulai meminta modal dari Larasati. Bunyinya pinjaman. Tapi tak pernah ada pinjaman yang dikembalikan. Satu persatu barang berharga lenyap dari rumah kontrakan. Mobil, televise, bahkan cincin kawin dan AC pun harus pergi dari rumah kami.
Aku menangis setiap hari.
Ha ha ha…
Aku mengutuk diriku setiap saat
Ha ha ha ha…
Aku ikut menenggak extacy seperti halnya Bagas
Ha ha ha ha ha…
Aku ikuti keinginan Bagas untuk tidur bertiga dengan pelacur di hotel
Ha ha ha ha ha ha ….
Ia meninggalkanku berdua dengan anakku dalam berbagai kesulitan yang kualami. Aku memanggil-manggil pemilik kehidupan sambil menangis mengharap belas kasihan Bagas. Bagas tetap meninggalkanku.
Ha ha ha ha ha ha ha….
Ia memilih mengejar mimpi, hidup dengan perempuan yang mengaku menjadi sahabat terbaikku.
Ha ha ha ha ha ha ha ha…
Aku menerimanya kembali setelah ia gagal mengejar mimpi, tanpa permintaan maaf. Larasati menunggu tanggapan.
Mengapa kau diam?
Ia pulang dan kembali menuntut soal modal usaha, uang pinjaman, dan bantuan-bantuan lainnya.
Masih belum ada tanggapan.
Kemana kau pergi maka kau diam saja?
Ia meminta aku membagi uang hasil penjualan mobil sementara mobil-mobil yang ia pakai selama ini adalah mobil hasil jerih payahku yang tak pernah dirawatnya. Ia sibuk bekerja di rumah istirahat kami dengan membawa banyak orang untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Ia pinjam modal untuk menyelesaikan pekerjaan itu dengan janji akan dibayar kalau sudah selesai kerjaan. Tak ada utang yang dibayar.
Mana tawamu itu?
Ia keluar dan memperkenalkan dirinya sebagai boss berbagai perusahaan dengan kemewahan yang bukan berasal dari miliknya. Ia sibuk dengan kebanggaan-kebanggaan semu bahkan mengabaikan permintaanku untuk menyelesaikan urusan-urusan keluarga dengan alasan urusan pekerjaan yang lebih penting. Tetapi ia tak segan memintaku memberinya uang rokok, uang bensin, atau uang tol.
Hei… jangan diam saja… perdengarkan gelegar tawamu yang baru saja kau perdengarkan.
Aku tak mau bersekutu denganmu. Mengikuti kehendakmu. Pergilah kau sejauh yang kau bisa. Aku menerima Bagas karena memang begitulah seharusnya. Bagas harus mengerti bahwa nonton televise di rumah, bertelepon memamerkan kemewahan, bukanlah cara yang dimaksud pemilik kehidupan untuk mewarnai kehidupan itu sendiri. Kepintaran saja tidak cukup, harus diimbangi dengan kerendahan hati. Hari ini Larasati tidak jadi ke kantor. Ia memilih menulis di rumah. (***)