JAKARTA—Noordin M Top tertawa-tawa menyaksikan tayangan televisi yang melaporkan secara langsung penangkapan dirinya di sebuah rumah di Temanggung. Kalau Noordin penggemar kopi seperti halnya almarhum Mbah Surip, mungkin ia menyaksikan tayangan televisi ditemani secangkir kopi dan pisang goreng. Sesekali ia mencatat berapa banyak pasukan yang dikerahkan, apa saja teknologi yang digunakan polisi, dan bagaimana teknik polisi melakukan pengepungan dan penangkapan.
Noordin tak akan keberatan namanya disebut-sebut televisi sepanjang hari Sabtu (7/8). Bisa jadi ia malah senang karena berarti untuk sementara waktu polisi dan media lebih focus ke Temanggung dan Jatiasih sehingga—mudah-mudahan tidak ya—polisi lengah mengamati pergerakan dirinya.
Sesekali ia tersenyum mendengarkan laporan reporter televisi ketika ditanya presenter di studio apakah benar orang yang ada di dalam rumah yang sedang dikepung polisi itu adalah Noordin. Reporter dengan sepenuh hati menjawab dengan penuh keyakinan bahwa orang yang ada di dalam rumah dan bersembunyi itu adalah Noordin.
Bahkan, untuk lebih meyakinkan presenter dan pemirsa, si reporter menceritakan bahwa orang yang ada di dalam rumah itu mengaku bernama Noordin. Si reporter kurang lebih mengatakan, beberapa saat lalu melalui mikrofon polisi meminta orang yang ada di dalam rumah itu untuk keluar. Polisi juga bertanya siapakah nama orang yang ada di dalam rumah? Lalu, masih juga dengan semangat, sang reporter mengatakan, orang yang ada di dalam rumah itu menjawab dengan suara merintih, “Nama saya Noordin M Top.”
Pada bagian ini Noordin tak mampu menahan rasa gelinya. Ia berpikir, bagaimana mungkin polisi yang bertanya dengan mikrofon itu bisa mendengar jawaban merintih orang yang ada di dalam rumah itu? Dari suara itu, entah reporter mendengar sendiri atau katanya katanya yang tidak disebutkan sumber akuratnya, suara rintihan orang yang ada di dalam rumah itu dengan menyebut dirinya Noordin M Top mengindikasikan bahwa Noordin sudah terluka terkena tembakan sehingga suaranya hanya terdengar sebagai rintihan. Noordin pun terkikik membayangkan dirinya merintih dan terdengar dari jarak puluhan meter. Ha ha ha… begitu Noordin meniru gaya tertawa almarhum Mbah Surip.
Ia baru berhenti terpingkal-pingkal setelah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa orang yang di dalam rumah itu menjawab pertanyaan polisi dengan mikrofon juga. Jadi, meskipun berupa rintihan tetap terdengar kan. Memangnya cuma reporter yang boleh berimajinasi? Noordin juga boleh dong mengkhayal, gak usah protes. Imajinasi Noordin bahkan lebih liar lagi, bisa jadi orang yang bersembunyi di dalam rumah itu meminjam mikrofon polisi biar jawabannya kedengaran. Ha ha ha…
Tentu saja Noordin tak bisa menahan linangan air mata akibat terlalu banyak tertawa. Ia menertawakan istilah baku tembak dan tembak-menembak yang digunakan reporter untuk mendiskripsikan suara tembakan bertubi-tubi yang diarahkan polisi ke rumah milik Mohzahri itu. Ia tak habis mengerti mengapa reporter menyebut baku tembak dan tembak-tembakan? Noordin kemudian maklum karena meskipun memiliki bahasa serumpun bahasa Melayu, ada banyak kata yang berbeda antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu Malaysia. Ia memahami baku tembak dan tembak-menembak itu sebagai saling tembak. Polisi menembak, dibalas oleh orang yang ada di dalam rumah itu dengan tembakan balasan. Ah… mungkin aku saja yang tak mendengar tembakan dari orang yang menyebut dirinya dengan Noordin itu, pikirnya. Atau mungkin saja, arti kata baku tembak dan tembak-menembak di Indonesia berbeda dengan kata yang dipahaminya selama ini.
Bukan hanya drama penangkapan yang dilaporkan langsung stasiun televisi yang membuatnya senang di Sabtu yang cerah itu. Sambil mengelus-elus jenggotnya dan mereguk kopi terakhirnya, Noordin menikmati keraguan masyarakat, sindiran pedas, bahkan cenderung hujatan kepada polisi. Dendamku sedikit terbalaskan, katanya, sekalipun aku tak perlu membalasnya secara langsung.
Selain di puja-puji karena keberhasilannya menanggap teroris di Jatiasih dan teroris di Temanggung, cibiran juga ditujukan pada polisi yang dinilai tak memberikan kepuasan pada rasa ingin tahu masyarakat. Media dan pemirsa menginginkan Noordin M Top, kenapa sampai sekarang tak diberinya kejelasan siapa yang mati di rumah itu?
Sebagian masyarakat menganggap pemberitaan media yang dilakukan secara live bersumber pada polisi. Padahal sepanjang hari memelototi televise, Noordin tak pernah dengar konfirmasi dari petugas polisi yang jumlahnya amat banyak di lokasi. Sekarang ia puas, opini public terbentuk bahwa polisi sudah membohongi public, katanya menangkap Noordin M Top tapi mungkin justru Noordin M ber yang ditangkap.
Noordin pun memilih mematikan televisinya. Tak terpuaskan dengan tayangan televisi, ia mempertimbangkan dua pilihan. Menghubungi Manohara atau menelepon produser sinetron. Dua-duanya menjadi pilihan menarik. Awalnya, Noordin akan menghubungi Manohara yang saat ini sedang sibuk melakukan kegiatan social. Jadi kalau ditelepon, dia pasti mau datang menjenguknya. Kalau Manohara datang, infotainment pun akan meliput, live pula. Setelah itu, lebih mudah menghubungi produser sinetron. Apalagi kalau ia menjanjikan ada adegan bom bunuh diri di akhir sinetron. Sekaligus ia bisa mendedikasikan sinetron itu untuk orang yang mati di rumah Mohzahri di Temanggung.

Jakarta, 9 Agustus 2009
Kristin Samah