Makan saja kok harus dipahami sebagai proses belajar sih? Hidup tidak usah dibikin rumit. Nyuapin anak mah bisa dimana saja, apalagi kalau anaknya masih kecil. Bisa sambil chatting, nonton televisi, atau kalau memang lagi sibuk, suruh saja “si embak” nyuapin anak-anak. Beres…
Tunggu dulu ya… sabar… baca dulu baik-baik tulisan pendek ini. Dalam perspektif Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc, soal memberi makan pada anak adalah sebuah proses belajar. Tidak bisa dibuat main-main. Anak punya hak untuk tahu kandungan nutrisi yang ada pada setiap makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Caranya? Libatkan anak-anak dari sejak memilih bahan makanan, mengolah, sampai ketika menikmatinya.
Kesalahan fundamental orang tua ketika mengajari anak makan adalah membiasakan anak-anak mengikuti apa yang menjadi kesukaan atau ketidakuskaan orang tua. Kalau orang tua tidak suka ikan, maka tak ada menu ikan di rumah. Dan itu keliru. Sekalipun orang tua tidak suka, segala jenis makanan yang bermanfaat bagi tubuh harus diperkenalkan. Biar lidah anak-anak yang menentukan mana yang suka dan mana yang tidak suka.
Anak harus makan di meja makan, sebagai sebuah proses belajar, jangan biarkan mereka makan sambil melakukan aktivitas lainnya. Ini penting karena nutrisi yang masuk ke dalam tubuh lebih memberi manfaat daripada bila makanan masuk asal-asalan.
Nah satu lagi nih, usahakan beri anak-anak asupan makanan buatan sendiri, bukan buatan restoran. Kenapa? Kalau sejak kecil lidahnya sudah dibiasakan makan makanan restoran atau bahkan junk food, bisa-bisa mereka tak doyan makanan rumahan. Padahal, kita tak pernah tahu apa kandungan nutrisi dan bagaimana cara mengolah makanan yang kita beli di restoran.
Oke ibu-ibu dan bapak-bapak yang masih punya anak kecil, paham kan? Pelajaran ini sih akan kupersiapkan buat cucuku kelak… eits….
Oke ibu-ibu dan bapak-bapak yang masih punya anak kecil, paham kan? Pelajaran ini sih akan kupersiapkan buat cucuku kelak… eits….