Setiap orang akan sampai di persimpangan jalan kehidupan. Menentukan sebuah pilihan memang bukan sebuah persoalan yang mudah. Apalagi bila rute perjalanan yang sudah bertahun-tahun dilalui sudah menyatu dan menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri.
Tujuh tahun yang lalu, aku berada pada posisi perempuan muda yang ada di depanku, Selasa (20/12) sore. Istilah anak sekarang, galau. Tetap menjadi tukang jurnalis, atau mengikuti suara hati, menjadi diri sendiri.

Aku menyebutnya tukang jurnalis karena pada masa itu kerjaku membuat perencanaan pagi yang tak selalu bisa ditepati. Pada kenyataannya berita apa yang akan kami turunkan sangat tergantung pada perkembangan yang terjadi pada menit-menit terakhir batas waktu. Aku menyebutnya tukang jurnalis karena kerjaku lebih banyak memoles berita yang masuk dari para reporter agar nama narasumber tidak salah, waku dan tempat tidak keliru, bahasanya lebih enak dibaca, dan seterusnya.

Prinsip membuat perencanaan, eksekusi, dan penurunan berita hampir bisa dipastikan tidak bisa dikendalikan dalam rapat karena pertemuan para redaktur dalam sebuah rapat tak lebih dari presensi untuk menyebut isu-isu pemberitaan apa yang dimiliki dan bukan membuat perencanaan untuk mengorek isu lebih dalam atau bahkan menciptakan isu-isu baru yang lebih seksi. Alhasil, apakah beda satu koran dengan koran lainnya hanya sebatas pada gaya penulisan dan nama koran itu sendiri.

Banyaklah Menulis

Maka dalam setiap kesempatan bertemu dengan reporter-reporter baru, tak pernah jemu aku memotivasi mereka untuk menulis lebih banyak, apalagi dalam bentuk analisis dan in depth reporting. Anjuranku itu bukan hal yang baru sebenarnya. Jauh bertahun-tahun yang lalu, ketika aku masih menjadi reporter baru, ucapan itu keluar dari guru jurnalistikku, almarhum Moxa Nadeak.

Bang Moxa… aku berterima kasih padamu karena segala nasehatmu benar adanya. Aku tak makan batu seperti ketika kau meyakinkanku dulu “kalau kau makan batu, aku pun makan batu..” Beristirahatlah dengan tenang…

Bang Moxa almarhum selalu mengingatkan, sekecil apa pun tulisanmu kalau berbobot, dan memiliki analisa tajam pasti akan dibaca orang. “Jangan lupa mencantumkan namamu, bukan untuk menyombongkan diri tetapi sebuah cara pandang terhadap sebuah masalah adalah sebuah kekayaan intelektual yang berhak kamu miliki,” ujarnya meyakinkanku. Maklumlah, sebagai orang yang masih puritan Jawa aku kadang enggan mencantumkan nama dan hanya menyebutkan inisial.

Aku merasakan kebanggaan ketika anjuran itu kujalankan. Di pelosok negeri yang harus menghabiskan waktu berjam-jam dari Jakarta dengan pesawart terbang, ternyata ada orang yang mengenalku dari tulisan-tulisanku. Maka aku tak pernah sungkan lagi menularkan kebanggaanku itu pada generasi-generasi jurnalis baru yang mulai berhitung dan menyebut “bekerja sesuai argo”. Jangan berhenti untuk menulis, karena menulis adalah mahkota para watawan. Apalah arti wartawan kalau dia tidak menulis?

Mengikuti Kata Hati

Kembali pada perempuan muda cerdas di depanku ini, aku tidak bisa menyarankan apa-apa karena kerja jurnalistik adalah candu. Tak akan mudah melepaskan diri dari candu yang hari berganti minggu, berganti pekan, berganti bulan, berganti tahun terus dijalani. Aku beruntung karena ada tangan orang lain yang membuatku berhenti menjadi tukang jurnalis. Dan untuk beberapa tahun kemudian—meskipun dengan ratapan pilu dalam hati—aku memimpin sebuah stasiun siaran radio, tetap membuat tulisan, dan merintis sebuah usaha di bidang komunikasi.

Aku tetap berada dalam lingkup pekerjaan jurnalistik meskipun tidak melakukan kerja jurnalistik. Pilihan sudah diputuskan. Inilah jalan yang memang harus kulalui untuk menjadi diri sendiri. Aku memperkuat ekonomi keluarga karena benar-benar kusadari tak mungkin memperkaya diri dengan menjadi jurnalis bermodal idealisme. Kita bisa melihat banyak sekali jurnalis yang memiliki kekayaan melebihi gaji yang mereka peroleh tiap bulan, tetapi apakah mereka masih memiliki idealism ketika berada dalam pilihan membela si kaya penindas atau membela si miskin tertindas?

Apakah mereka masih memiliki nilai-nilai idealism bila ternyata si penindas itu adalah tauke yang tiap bulan mengerincingkan uangnya agar dapur kita tetap ngebul dan anak-anak kita tetap minum susu serta memperoleh pendidikan yang layak? Entahlah, masing-masing jurnalis yang bisa menjawabnya.

Candu itu sudah meresap pada diri perempuan muda ini. Aku bisa merasakannya. Penghormatan pada senior, upaya mempertahankan idealism, menjaga keberlangsungan nilai-nilai… itu semua adalah manifestasi candu yang sudah tiap hari dikunyahnya.
Kerja jurnalistik memang membuat kita tak mungkin berpaling untuk menekuni pekerjaan lain. Namun satu hal yang harus kita sadari bahwa kerja jurnalistik tidak harus diikat pada sebuah perusahaan. Apakah para jurnalis bisa menyebut sebagai professional bila masih diikat dalam sebuah perusahaan bisnis? Apakah ia masih professional bila esok pagi tidak menurut pada kepentingan capital maka “nyawa kehidupan” di perusahaan tempat bekerja bisa dicabut setiap saat?

Idealism, nilai-nilai perjuangan, integritas, melekat pada masing-masing jurnalis dan bukan pada instansi tempat ia bekerja. Maka jalanilah keyakinanmu itu dengan caramu sendiri baik diikat dalam sebuah institusi maupun ketika harus berjalan dalam kesendirian. Kalau kau makan batu… aku pun makan batu. Apakah itu cukup membuatmu tenang seperti ketika dulu almarhum Moxa Nadeak meyakinkanku untuk mengambil loyalitas pada idealism, nilai-nilai kemanusiaan, dan integritas? Selalu ada persimpangan jalan, kau akan menjadi orang besar karena kau bisa mengambil keputusan, apa pun keputusanmu itu…