Oleh: Kristin Samah
JAKARTA (7/8/3018)—Kesempatan sangat langka bila akhirnya bisa berdua saja dengan Bapak yang sampai saat ini pengagumnya sangat banyak. Dan itu terjadi pada sore yang tak terduga.
“Pak… Si Ibu sudah datang belum?” tanyaku setengah berbisik. Tentu saja setelah aku menjelaskan mengapa rasa ingin tahu itu begitu lama saya pendam sendiri di dalam hati.
“Sudah! Bukan hanya nengok, sering juga kirim makanan. Dia Ibu yang baik, penuh perhatian,” timpalnya dengan tone suara sama dengan bisikan saya. Beberapa menit sebelumnya, suaranya meledak-ledak. Nyaris tak bisa dihentikan.
Ia kemudian menceritakan kebaikan hati Si Ibu. Bahwa usianya sama dengan usia ibundanya. Dan saya pun mengangguk lega.
Cerita berikutnya tentang politik. Hal yang sangat ia hindari dalam pertemuan-pertemuan yang pernah saya hadiri. Ringan ia bercerita dan berharap. Harapan adalah api kehidupan.
Saya menyukai karena penanya masih menyalakan semangat bagi orang-orang yang lesu. Setiap hari, ia menjawab surat-surat. Dari sekedar ucapan ulang tahun sampai pemompa semangat bagi yang sakit kritis.
Pak… perbuatan baik memang tak harus diketahui orang lain ya… Ia mengangguk. Sekelebat saya ingat Si Ibu. Ia sering dihujat, dituduh begini, disangka begitu. Diamnya mengundang tanya. Namun kebaikan hati tak bisa ditutupi.
Dan hari ini saya belajar. Teruslah berbuat baik sekalipun hanya angin yang melihatnya karena pada saatnya angin pun akan bercerita melalui daun-daun yang luruh, lalu menyuburkan bumi.
Teringat apa yang diucapkan Bunda Teresa. Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, mungkin saja besok sudah dilupakan orang, tapi bagaimanapun, teruslah berbuat baik.
Berikanlah yang terbaik dari dirimu yang dapat engkau lakukan. Pada akhirnya, engkau akan tahu bahwa ini bukan urusan antara engkau dan mereka, melainkan urusan antara engkau dan Tuhan. (***)