Oleh: Kristin Samah

JAKARTA (11/10/2018)—Cukup satu jam saja untuk memahami konsep revolusi mental untuk ibu-ibu prasejahtera. Itu tertuang di buku Revolusi Senyap untuk Para Ibu Tangguh.

Buku setebal 135 halaman yang diterbitkan Gramedia itu memang saya buat ringan dan sederhana dalam pemilihan kata untuk memudahkan memahami konsep yang pelik. Tidak banyak istilah akademis yang berpotensi mengerutkan kening meskipun yang tertuang dalam buku, menjelaskan microfinancing, entrepreneurship, psikologi sosial, dan semangat kebangsaan dalam mengentaskan kemiskinan.

“Cukup satu jam,” ujar Maman Suherman yang menjadi moderator bincang buku. Dan itu dibenarkan Chicha Koeswoyo, Putri K. Wardhani, Syarkawi Rauf, dan Hendrik Riwu Kore.

Chicha bahkan menyebut, isi buku itu merupakan cermin perjuangan hebat ibu-ibu yang mulai belajar menjadi entrepreuner. Ia mengalaminya ketika merintis bisnis sambal. Modalnya Rp 3 juta, sedikit lebih banyak dibanding modal tanpa agunan yang diperoleh ibu-ibu prasejahtera sejumlah Rp 2 juta.

Penyanyi cilik yang populer di awal tahun 80-an itu mengaku terharu bahwa apa yang dilakukan ibu-ibu tangguh, mengawali bisnis, pernah juga ia lakukan. Jatuh-bangun itu biasa kalau mau berhasil.

Akan halnya Putri K. Wardhani mengatakan, di era digital, peluang bisnis semakin terbuka. Ibu-ibu tak perlu kecil hati, ia menyebut, bisnis kuliner terus berkembang. Pewaris perusahaan kosmetik asal Solo itu pun mencontohkan, meskipun Solo menjadi tanah leluhur keluarga, kalau pulang ke kota itu, tetap saja menjelajah aneka kuliner.

Hendrik Riwu Kore, excecutive vice president Permodalan Nasional Madani (PNM) mengapresiasi, meskipun bisa diselesaikan hanya dalam satu jam, buku ini lengkap menuturkan konsep permodalan untuk keluarga prasejahtera. Program itu diberi nama Mekaar, kependekan Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera.

Di tahun 2015 ketika program digagas, target jumlah nasabah hanya 400 juta. Jokowi minta target ditingkatkan menjadi dua juta dan di akhir tahun 2018 harus mencapai empat juta keluarga prasejahtera.

Jadi buku ini diterbitkan untuk kampanye Jokowi? Di akhir bincang buku, wartawan mengkonfirmasi itu. Buku ini merupakan karya jurnalistik. Ada program kerja yang bagus dalam konsep, saya ingin mengkonfirmasi apakah terimplementasi dengan baik. Dan tak ragu saya katakan, “yessss”.

Kalau mendokumentasikan program kerja yang baik disebut kampanye, tentu itu artinya kampanye kebaikan. Satu kebaikan untuk Indonesia. (***)