Kalau pikiran waras yang digunakan, tak mungkin ucapan spontan yang dijadikan judul tulisan ini dialami seorang pejabat. Bukan hanya pejabat kelurahan atau kecamatan, tapi pimpinannya pimpinan di negara republik, yaitu Presiden.
Super Toy memang menjadi pembicaraan hangat di berbagai kalangan. Di banyak komunitas, sebagian besar menjadikan Super Toy sebagai bahan pembicaraan baik secara serius maupun sebagai bahan pergunjingan. Bahkan, seorang teman, termasuk diriku, setiap mendengar kata “Super Toy” pikiran kok ya ke hal-hal yang diinginkan.
Terlepas dari kontroversi Super Toy yang memang luar biasa, kejadian semacam ini sebenarnya jamak terjadi di kalangan pejabat tinggi. Salah satu penyebab terjadinya peristiwa itu adalah sistem birokrasi yang dibuat acak adul sejak zaman Orde Baru.
Miftah Toha dalam buku Birokrasi dan Politik Indonesia menyebut hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintahan. Tatanan birokrasi pemerintahan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi para birokrat karier dan jabatan-jabatan yang diisi oleh para pejabat politik. Selama pemerintahan Orde Baru, jabatan politik dan jabatan karier campur aduk karena Golkar, sebagai pemenang pemilu pada masa itu menguasai hampir seluruh susunan pemerintahan. Semua posisi jabatan dalam organisasi departemen pemerintah ditempati oleh kader-kader Golkar sehingga sulit dibedakan manakah yang birokrat tulen dan mana yang birokrat partisan.
Sulit Membedakan
Praktek pemerintahan semacam ini berlangsung cukup lama sehingga masyarakat pun sulit membedakan sikap, perilaku, dan opini para pemimpin pemerintahan. Apakah mereka pejabat politik ataukah pejabat birokrasi.
Konflik antara jabatan birokrasi dengan jabatan politik pun sempat menjadi konflik terbuka di awal masa reformasi. Partai politik peserta pemilu yang berhasil menempatkan sejumlah kadernya menjadi anggota legislatif turut terakomodir dalam pembentukan kabinet. Bahkan jabatan sekjen yang seharusnya diisi jabatan karier pemerintahan diisi figur yang berasal dari partai politik.
Istilah political appointee yang sebenarnya sudah lama dikenal, kemudian banyak digunakan untuk menyebut jabatan-jabatan non-stuktural untuk menampung “orang-orang kepercayaan” para pejabat dalam menjalankan tugasnya. Maka muncullah jabatan-jabatan staf ahli, tim ahli, penasehat, dan lain sebagainya.
Keberadaan pejabat-pejabat jalur political appointee ini dapat dipahami mengingat dalam menjalankan tugasnya seorang pejabat harus pula memperoleh pertimbangan dari orang-orang terdekat, orang kepercayaannya. Sekalipun demikian, tidak jarang orang kepercayaan ini tidak menguasai sepenuhnya tugas yang harus dijalankan sang pejabat.
“Ewuh Pekewuh”
Suasana tata pemerintahan semacam ini masih diperumit dengan kultur AIS—asal ibu senang, karena sekarang sudah banyak pejabat perempuan, atau ABS (asal bapak senang). Budaya ewuh pekewuh pun tak lekang dimakan waktu. Sehingga apa yang dikatakan pimpinan, itulah yang diamini, tidak peduli kualitas pendapat yang disampaikannya.
Pengalaman berinteraksi dengan hierarkhi birokrasi dapat sedikit menjelaskan bagaimana staf di bawah akan mengangguk setuju—sekalipun di dalam hati tidak sepaham—apabila pimpinan telah menyatakan persetujuannya. Seorang staf pejabat akan menghormat berlebihan pada kenalan maupun tamu para pejabat apabila diketahui kenalan maupun tamu pejabat itu memiliki hubungan yang sangat erat dengan pejabat yang menjadi pimpinannya. Bahkan, tak jarang situasinya lebih naif lagi, melihat kedekatan itu seorang pejabat karier bisa saja “menitipkan” nasibnya kepada teman atau pun orang-orang yang dianggap dekat dengan para pejabat dimaksud.
Dalam konteks Super Toy, suasana psikologis semacam itu bisa saja terbangun. Ketika anggota tim ahli—tak mungkin jadi anggota kalau tidak ahli—membawa teman-temannya yang disebutkan memiliki hasil temuan penelitian, maka bisa diperkirakan bahwa birokrasi yang berasal dari karier ewuh pekewuh untuk mengingatkan pimpinannya tentang prosedur yang seharusnya dijalani Bapak Presiden.
Sebelum menganggukkan kepala tanda setuju terhadap usulan baru, baik dari “orang-orang terdekat” termasuk dari anak, isteri, atau kerabat, untuk tingkat presiden, misalnya, bisa memanggil menteri yang sesuai dengan bidangnya. Menristek diminta mengkaji blue energy, misalnya, sebelum dengan penuh kebanggaan, mengumumkannya untuk rakyat.
Soal perbenihan—yang pasti benih tanaman—maka Menteri Pertanian-lah yang seharusnya dipanggil untuk ditanya terlebih dulu pernah tahu tentang Super Toy atau tidak. Kalau tidak pernah tahu tentang Super Toy, tanyakan lagi tentang Super Toy HL-2. Kalau dua-duanya tidak tahu, suruh Pak Menteri mempelajari apa itu Super Toy HL-2. Menteri Pertanian, kalau pun tidak tahu, sudah pasti akan meminta jajaran di bawahnya untuk meneliti mahluk letoy macam apakah Super Toy HL-2 itu. Bila prosedur itu ditempuh, maka selamatlah Presiden dari aib panen raya Super Toy. Lain halnya kalau Pak Menteri pun ewuh pekewuh dan turut serta dalam toneel Super Toy.