Melakukan perjalanan ke Entikong, Kalimantan Barat, mengingatkanku pada masa-masa ketika masih melakukan kerja jurnalistik di daerah-daerah terpencil. Maka ketika datang tawaran membuat feature program televise tentang kehidupan masyarakat di perbatasan, segera kuiyakan meskipun dua kali perjalanan ke daerah sebelumnya cukup menguras tenaga.
Isu daerah perbatasan ibarat ombak di perairan kebijakan politik Indonesia. Kadang-kadang datang seperti mau menerkam, kadang pula tenang seteduh Lautan Indonesia. Apalagi kalau daerah perbatasan itu sudah menyangkut wilayah Malaysia.
Entikong lebih mudah dicapai melalui perjalanan udara Jakarta-Pontianak-Kuching kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat paling lama dua jam menuju perbatasan Sarawak-Kalimantan Barat. Sementara perjalanan darat dari Pontianak menuju Entikong kabarnya makan waktu delapan jam dengan kondisi jalan yang tidak dijelaskan mulus tidaknya. Membayangkan duduk dalam satu mobil selama delapan jam sudah membuat kami putus asa. Maka saran melalui Kuching lebih kami pilih.
Realisasi tak selalu berjalan sesuai dengan rencana. Penerbangan pagi menuju Pontianak menibakan kami pada sekitar jam 08.30 WIB sementara jadwal penerbangan menuju Kuching mengalami keterlambatan dari jadwal yang ditentukan. Satu jam berlalu, masih belum ada pemberitahuan meskipun pesawat yang akan menerbangkan kami, katanya,
sudah ada di Bandara Supandio, Pontianak.
Akhirnya, kami pun terbang ke Kuching setelah satu setengah jam menunggu. Kalau kita hitung lama waktu perjalanan, sebenarnya waktu menunggu yang kami habiskan di ruang tunggu Bandara Supandio hingga mendarat di Kuching—memakan waktu hampir lima jam—sudah bisa mencapai tiga perempat perjalanan darat Pontianak-Kuching. Sementara jalan darat Kuching-Entikong yang menghabiskan 1-2 jam perjalanan, cukup menggenapi waktu yang kami butuhkan untuk mencapai tempat tujuan.
“Wah kalau kita jalan darat melalui Pontianak, sudah banyak tabungan gambar yang kita kumpulkan,” ujar Irfan yang tampaknya memang mencintai betul profesinya sebagai cameraman. Aku menyetujuinya. “Tapi kita tidak bisa minum teh tarikh,” ujarku menenangkan diri.
Kesenjangan di Tapal Batas
Ironis, banyak orang lebih suka merekomendasikan terbang ke Kuching untuk menuju Entikong daripada melewati wilayah Negara Republik Indonesia sendiri.
Kami memperoleh jawaban atas kegemaran orang-orang yang menyukai melintasi Kuching, Ibukota Sarawak, Malaysia untuk mencapai Entikong. Kuching memiliki fasilitas lengkap seperti hotel, rumah makan, pusat perbelanjaan, sampai tempat-tempat hiburan. Infrastruktur jalan raya mengalahkan mulusnya tol Jagorawi yang selalu menjadi kebanggaan Indonesia. Listrik, air, sampai sinyal telepon genggam sama sekali tidak mengecewakan.
Lalu, apakah yang dimiliki Entikong setelah kita melintas di pos pemeriksaan imigrasi? Sejuknya udara Entikong memang membuat nafas kita lebih lega. Apalagi di pagi hari, di bukit-bukit dapat kita lihat dengan mata telanjang tebalnya kabut yang membuat kita enggan untuk melepas baju hangat. Namun selepas pos pemeriksaan, akan kita saksikan jalan berlubang di kanan-kiri. Rumah tinggal yang terbuat dari tripleks menghiasi kanan jalan sementara gedung-gedung berbahan batu-bata bisa dipastikan merupakan perkantoran atau rumah dinas pegawai pemerintah.
Inilah Indonesia, aku berujar spontan ketika kami mulai dikerumuni satu dua orang penduduk local yang menawarkan berbagai jasa.
“Mau kemana mbak? Sewa mobil?” satu orang mendekati kami karena melihat banyaknya barang bawaan kami.
“Tidak terima kasih, sudah ada yang jemput,” aku menolak halus.
“Dibawain mbak?” ah… inilah kuli yang menawarkan jasanya, khas Indonesia.
Satu per satu bertambah orang yang datang menawarkan jasa.
“Tukar ringgit… tukar ringgit… rupiah mbak?” itu tawaran dari orang-orang yang menawarkan jasa penukaran uang.
“Penyambutan” yang kami hadapi ketika memasuki pos perbatasan Entikong itu jamak kita temui di terminal atau stasiun pemberangkatan transportasi umum di Indonesia. Entikong memang menjadi salah satu pusat perlintasan darat warga negara Indonesia yang ingin mengadu nasib di negara tetangga, Sarawak, Malaysia.
Di pagi hari, perbatasan Entikong lebih mirip terminal dibanding pada siang atau sore hari. Pagi hari adalah saat penduduk Indonesia berangkat bekerja ke berbagai daerah di Sarawak, Malaysia. Dan layaknya “terminal” jasa yang ditawarkan pun lebih bervariasi dari yang kami hadapi pada sore hari sebelumnya. Berbagai jajanan sarapan ditawarkan.
Ada pula yang mendekati kami, “nulis mbak… nulis…”
“Apa yang mereka tawarkan itu?” tanyaku pada Haji Thalib, tokoh masyarakat yang menunjukkan berbagai aktivitas masyarakat Entikong pada pagi hari.
“Mereka menawarkan jasa menulis immigration form,” ujarnya. Ia pun menambahkan, banyak warga masyarakat yang tidak bisa mengisi immigration form sendiri, jadi mereka menawarkan jasa. Untuk satu kali menuliskan data pada form, mereka mendapat upah Rp 5.000,-
Oh… my lovely Indonesia…. aku bergumam pelan.
Pak Haji Thalib adalah tokoh masyarakat yang sudah lama mengenal Entikong. Ayahnya berasal dari Pandeglang, sementara ibunya kelahiran Blitar. Pak Haji sendiri lahir di Sanggau dan sejak kecil diajak ibunya berdagang ke Entikong. Jadi kecintaannya pada Entikong bisa kupahami karena sejak kecil Haji Thalib memang sudah berinteraksi dengan kota kecamatan itu.
Soal makan tak perlu risau. Kalau kenyang menjadi tujuan utama maka warung makan bercita rasa masakan padang bisa ditemui di hampir setiap sudut jalan. Bahkan, di perkampungan, jumlah warung padang ini cukup fantastis untuk ukuran perkampungan. Jumlah warung makan cukup menarik perhatianku karena begitu memasuki perkampungan, hampir setiap lima rumah terdapat warung makan atau warung kopi.
“Jumlah warung makan di sini banyak sekali, apakah penduduk setempat jarang memasak makanan untuk konsumsi sendiri?” tanyaku pada penduduk lokal yang sama-sama duduk di warung makan.
“Penduduk di sini suka makan di warung, jadi meskipun di rumah masak sendiri, tetap saja ada sekali waktu mereka makan di luar,” ujarnya.
Infrastruktur
Entikong memang memiliki pesona tersendiri. Andai saja pemerintah mau memberi sedikit perhatian pada kota kecamatan di Kabupaten Sanggau ini, mungkin pertumbuhannya bisa menyamai subdistrik Tebedu yang ada di Sarawak, Malaysia.
Kota kecamatan yang hanya menjadi pusat perlintasan penduduk menuju ke Sarawak pun, saya melihat geliat Entikong cukup menjanjikan. Namun sayang, tak terdapat infrastruktur minimal di Entikong. Selain jalan berlubang di sisi kanan dan kiri jalan, listrik pun baru menerangi Entikong praktis belum satu tahun terakhir ini.
Ada dua buah pasar yang dibangun lumayan megah tetapi sepi pedagang, apalagi pengunjung. Saya jadi ingat konsep pembangunan yang selama ini dikenal di negeri ini. Pembangunan itu ya fisik, gedung, dan bukan pemberdayaan masyarakat, apalagi
management, atau pendampingan agar masyarakat bisa mandiri.
Awalnya, perlintasan Entikong-Tebedu dimudahkan bagi penduduk kedua Negara untuk berinteraksi. Maka di pelataran perbatasan Entikong, ratusan pedagang asal berbagai daerah di Indonesia menggelar lapak dagangannya dengan fasilitas seadanya. Namun baik pedagang maupun pembeli sama-sama puas. Bahkan pedagang dari pusat perbelanjaan Blok-M maupun Tanah Abang pun ikut andil meramaikan “pasa kaget” itu.
Melihat besarnya transaksi perdagangan, pemerintah berinisiatif membangun pasar untuk lebih mengembangkan nilai transaksi. Maka dibangunlah pasar permanen kira-kira 500 meter dari border. Namun pemerintah alpa bahwa pasar bukanlah bangunan permanen yang diisi barang dagangan semata. Pasar memiliki jiwa, memiliki mekanisme yang harus dipelajari secara sosiologis, tak sekadar menyusun batu bata menjadi bangunan.
Seiring dengan pembangunan pasar itu, pemerintah mengeluarkan pelarangan bagi penduduk asing yang melintasi border Entikong untuk membawa dokumen lengkap seperti passport. Sementara Sarawak tetap membiarkan penduduk Indonesia melintasi border hanya dengan menunjukkan pass lintas batas (PLB). Bahkan kalau hanya untuk berbelanja ke Tebedu, subdistrik terdekat dengan Entikong, mereka cukup mengisi semacam “buku tamu”. So simple.
Aturan itu membuat penduduk Malaysia enggan berbelanja ke Pasar Entikong. Apalagi, ehem… ehem… kata burung yang bisa berkabar, ada pula pungutan yang harus dikeluarkan warga Malaysia yang akan berbelanja di Pasar Entikong. Singkat kata… ribet. Maka sepilah Pasar Entikong, bahkan sebelum pasar itu sendiri selesai dibangun. Ada dua pasar, nilai pembangunannya miliaran, dan tidak dimanfaatkan dengan baik.
Akan tetapi meskipun fasilitas umum masih sangat minim, lihatlah bangunan bertingkat yang terdapat di tepi jalan. Tertulis Rusunawa Entikong. Luar biasa, kataku tanpa bermaksud menyembunyikan kekagumanku. “Siapa yang tinggal di Rusunawa itu?” tanyaku spontan. “Tak ada, dibiarkan kosong saja,” kata Pak Haji Thalib.
Rusunawa itu dibangun di tahun 2006 dan hanya dihuni empat keluarga karena tidak ada listrik dan fasilitas lainnya. Sayang sekali bangunan itu lama tidak dimanfaatkan.
Indahnya Indonesia. Pejabat instansi apakah yang hendak tinggal di negeri bernama Entikong? Hampir semua pejabat di negeri ini yang memiliki tugas dan fungsi terkait dengan daerah perbatasan sudah pernah datang ke Entikong. Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah “singgah” di Entikong. Akan tetapi, semuanya, UKK juga. Ujung-ujungnya Ke Kuching…