BUKAN hal yang mudah untuk menjawab pertanyaan tentang diri kita sendiri. Kalau soal siapa nama, alamat, tanggal lahir, dan berbagai data identitas diri, sepanjang tidak terserang amnesia memang tak sulit untuk menjawabnya. Namun, apalah arti sebuah nama karena pada akhirnya siapakah saya adalah sebuah pertanyaan kontemplatif yang hanya kejujuranlah yang bisa memberikan definisi yang paling tepat.
Keberanian menggunakan kata saya, dan bukan kami pun merupakan keberanian verbal yang memerlukan sebuah latihan. Tak jarang kata ganti orang pertama jamak “kami” digunakan untuk menggantikan kata saya. Entah untuk menghaluskan bahasa, entah untuk “melempar” tanggung jawab dari kesendirian.
Keakuan, untuk menggantikan kata egoisme melekat di hampir setiap umat manusia. Hanya saja bagaimana keakuan itu dikelola dengan sebaik-baiknya agar dapat membentuk sebuah kepribadian yang matang. Kebiasaan orang melihat foto adalah contoh paling mudah untuk menunjukkan bahwa dalam setiap jiwa manusia ada keakuan yang diakui atau tidak mengemuka dalam setiap kesempatan. Kalau ada sebuah foto berisi deretan wajah, siapakah yang akan kita cari dalam deretan itu? Maka jawabannya adalah diri sendiri. Cobalah sekali waktu kau uji keakuanmu dalam hal melihat foto.

Merendahkan Diri?
Ketika sedang menyombongkan diri dengan cara merendahkan diri, tak jarang ungkapan rendah hati diperdengarkan. Dua perempuan yang salah satunya adalah diriku sendiri membahas bentuk tubuh yang mulai tak terkendali karena tak mampu mengendalikan nafsu makan.
“Saya dong lebih gemuk,” kataku kepadanya.
“Ah… aku yang lebih gemuk, lihat saja lenganku tampak besar kan,” kata temanku sambil mempertontonkan lengannya yang menurutku biasa-biasa saja.
Aku masih menimpali kompetisi gemuk-gemukan itu dengan juga mempertunjukkan lekukan perut yang memang berlipat-lipat. Sebelum temanku melanjutkan mempertontonkan anggota tubuhnya yang lain, padahal tidak boleh mengeluarkan anggota tubuh, aku menghentikannya dengan memberikan sebuah ceramah singkat.
Beginilah manusia, dengan sukarela ia akan mengatakan dirinya gemuk, jelek, bodoh, dan seterusnya. Bukan dengan maksud mengatakan yang sesungguhnya, tetapi dengan maksud agar orang lain memaklumi keadaannya. Agar orang lain memahami ada kesombongan dalam keakuannya.
Cobalah bila orang yang sama melakukannya dengan cara yang berbeda.
“Kau gemuk sekali ya sekarang.” Kalau itu kukatakan langsung pada temanku, ada dua hal yang akan dilakukannya. Ia tidak percaya dengan mengatakan, “masa siiiiih?” atau dia akan segera menyelesaikan urusannya dan dengan sedikit berbasa-basi berpamitan untuk mendahului pergi. Itulah keakuan manusia, kalau disinggung, marahlah dia.

Menyentuh Keakuan
Siapakah saya? Pertanyaan itu menjadi pertanyaan standard ketika saya berhubungan dengan orang lain. Ini pula yang saya ingin bagi dengan seorang teman yang meminta tolong dibuatkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Ini adalah permintaan kesekian setelah sekian banyak temannya dipermudah memperoleh SKCK. Orang lain membutuhkan waktu dua hari untuk bisa memperoleh SKCK sementara temanku dan teman-temannya temanku tidak perlu menunggu terlalu lama.
Setelah keberhasilannya memperoleh SKCK dengan cepat, demikian pula teman-temannya, datanglah permintaan yang konon menurut pernyataannya adalah yang terakhir. Aku tidak pernah berkeberatan membantu sepanjang aku bisa membantu. Terakhir atau tidak, sepanjang prosedur dan persyaratan yang dibutuhkan terpenuhi, seluruh warga Jakarta dia bawa pun tak masalah bagiku. Tetapi pembicaraan per telepon di siang yang sangat terik di udara Jakarta, 17 September 2008 benar-benar membuatku gerah di ruangan berpendingin udara.
“Bagaimana ini, teman saya sudah menunggu lama tetapi tidak ada yang membantu untuk membuat SKCK,” katanya. Ia juga masih menyebut nama sekretarisku yang dinilainya tidak membantu sama sekali dan hanya meminta temannya temanku untuk langsung ke loket karena sudah biasa sebelumnya juga seperti itu.
Nada tinggi pembicaraan telepon itu kuakhiri dengan mengatakan, “Maaf, kamu minta tolong ya… jadi jangan saya dibentak dengan suara keras seperti ini.”
Aku geram, jelas karena keakuanku disentuh. Siapa saya maka kau perintah-perintah. Ketika keakuanku sedikit mereda, kutelusuri apa yang sebenarnya terjadi dengan menelpon sekretaris dan pihak-pihak yang berkepentingan. Tak ada yang keliru dari semua yang kukonfirmasi. Sekretaris harus mengerjakan hal lain yang lebih penting, sementara selama ini ia memang tidak pernah berhubungan dengan SKCK. Jadi sebaiknya berhubungan langsung ke loket pembuatan SKCK.
Kalau pun tidak memperoleh privilege, apa salahnya mencoba seperti halnya yang dilakukan orang lain bukan? Pertanyaan siapakah saya akan menjawab mengapa kita harus menjadi orang yang diprioritaskan. Siapakah saya, maka saya tidak mau mengikuti prosedur standar sama halnya dengan yang dilakukan orang lain. Siapakah saya, maka saya tidak mau dibentak? Siapakah saya? pertanyaan yang harus setiap saat diucapkan untuk mengembalikan keakuan pada bentuknya sendiri.

Kristin Samah
17 September 2008