Kesombongan adalah dosa yang paling dibenci Tuhan. Aku sangat setuju dengan pendapat seorang rekan yang dicantumkan dalam status facebooknya. Ia menyandingkan kesombongan itu dengan kemiskinan. Sudah miskin, sombong pula.
Aku pernah merasakan kejengkelan yang sama. Saat itu bukan soal kemiskinan yang kurasakan tetapi kemalasan. Sudah malas, masih juga sombong. Lalu apa yang disombongkan? Kemalasan itukah?
Seorang teman lebih sadis lagi mengomentari kesombongan itu. Pemalas yang sombong hanya menyombongkan egonya, kemalasan dan kebodohannya. Temanku itu bercerita,ia bertemu orang miskin tapi sok banget. Kerja milih-milih gengsi setinggi langit, sensitif dan gampang tersinggung, merasa penting terus. Bahkan, ia sampai merasa dirinya kurang baik karena dianggap kurang membantu. Padahal, bukan kurang bantuan yang diberikan tetapi karena kemalasannya membuat kerja tidak pernah serius. Sampai-sampai saking seringnya diberi pertolongan pemalas ini sampai lupa berterima kasih. Tak belajar rendah hati, tak belajar berterima kasih, tak belajar menghargai pertolongan orang. Capek… begitu komentar seorang teman.
Mengenal seseorang yang memiliki kesombongan semu jelas bukan sebuah kebanggaan. Apalagi harus menghadapi kesombongan demi kesombongan itu hampir setiap hari.
Aku pernah mendengar si sombong berbicara per telepon tentang temannya yang masih belum memiliki mobil sebagai sarana transportasi. Secara tersirat ia ingin menyombongkan dirinya yang kemana pun bepergian mengendarai mobil sementara kawan si sombong yang dibicarakan itu masih menggunakan moda transportasi umum untuk beraktivitas.
Teman… ketahuilah bahwa mobil yang digunakan si sombong ini bukan miliknya sendiri. Lalu buat apakah bersombong untuk itu? Aku sendiri enggan untuk bertanya atau mengorek kelanjutan informasi itu.
Di kesempatan lain, si sombong menyebut dirinya sebagai pengusaha. Megandalkan kemampuannya bersilat kata-kata untuk mencitrakan dirinya sebagai seorang yang memiliki kapabilitas untuk memimpin sejumlah orang dalam sebuah bidang usaha.
Aku ingin telingaku menjadi tuli, karena aku tahu apa aktivitas si sombong ini setiap harinya. Usaha demi usaha ditekuninya tak pernah membuahkan hasil. Apakah kunci kegagalannya? Kesombongan itulah yang telah menghambat setiap langkah usaha yang dirintisnya.
Namun, ia tak jera berbuat kesombongan sekalipun Sang Pemilik Kekuatan itu telah mencelikkan mata si sombong dengan berbagai kegagalan. Ia masih saja sombong dalam kegagalannya. Si sombong lupa bahwa kekuatan dan keberhasilan hanyalah milik Allah. Maka itulah makna manusia berusaha, Tuhan pula yang menentukan.
Lalu apakah makna kesombongan bagi manusia bila sebenarnya umat manusia hanyalah sebuah batu legam semata? Kalau pun sebuah batu legam mengeluarkan cahaya indah keemasan berupa kesuksesan, bukankah sejatinya cahaya itu berasal dari Allah semata?
Lalu untuk apa berlaku sombong kalau seorang manusia sejatinya hanyalah tempat memantulkan cahaya Illahi itu? Bukankah dengan demikian kesombongan hanyalah sebuah pengingkaran terhadap kekuatan Illahi dengan mengklaim kekuatan Allah sebagai kekuatan diri sendiri?
Lalu untuk apa berlaku sombong? Menyombongkan kekayaan dan keberhasilan atas jerih payah diri sendiri pun tak layak dilakukan karena semua bersumber pada berkat Allah. Apalagi berlaku sombong atas kekayaan dan keberhasilan orang lain, sekalipun ia adalah isteri sendiri atau adik sendiri, atau handai taulan sendiri. Berhentilah berbuat sombong, karena sungguh-sungguh Allah membenci manusia yang ingin menandingi kekuasan-Nya. Kisah pembangunan Menara Babel adalah bukti bagaimana Allah membenci kesombongan manusia yang ingin menandingi kekuatan-Nya.
Masih ingin menyombongkan diri?