Kepada siapakah kita mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan? Ketika akan menjawab pertanyaan itu, sejurus pikiran akan melayang pada pertanyaan siapakah majikan kita. Suatu hari di tahun 2010, seorang menteri minta advise pada perusahaan konsultan komunikasi kami. Setelah usai mempresentasikan strategi-strategi komunikasi yang sudah kami susun, sang menteri pun memberikan komentar. Di antara komentar, sekaligus permintaannya, ada satu pernyataan yang tidak akan pernah dapat kami lupakan.
“Mbak… menteri itu pembantu Presiden, jadi strategi komunikasi yang paling tepat adalah bagaimana Presiden bisa mengetahui bahwa saya sebagai menterinya sudah bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya.”
Pernyataan sang menteri tentu saja masih panjang lebar menjelaskan betapa pentingnya presiden mengetahui apa yang sudah dikerjakannya supaya posisinya tidak digoyang badai reshuffle atau bahkan bisa diangkat lagi pada periode berikutnya. Penekanan bahwa “majikan” menteri adalah presiden—karena menteri adalah pembantu presiden—menjadi penting karena kami memiliki perbedaan perspektif dalam memandang cara berkomunikasi yang harus dilakukan menteri dalam rangka mensosialisasikan kinerja kementerian yang dipimpinnya.
Lain lagi peristiwa yang menutup bulan Agustus 2012. Di tengah deadline yang begitu padat, saya menanyakan pada bagian tata letak yang sedang mengerjakan buku saya. Melalui pesan singkat saya katakan bahwa proses penyelesaian tata letak buku benar-benar mengganggu pikiranku karena deadline sudah terlewati. Rupanya teman saya yang bertanggung jawab pada pekerjaan tata letak sedang tidak berdekatan denga telepon selular.
Namun ketika ia mulai merespon pesan singkat saya, sungguh pernyataannya membuatku terhenyak. Kurang lebih dia katakan, untuk apa saya merasa risau sementara si polan—teman satu tim penulis buku, sebut saja begitu—tidak risau sama sekali. Masih ada beberapa hal yang disampaikannya yang menurut saya sama sekali tidak relevan dengan tugas pokok yang menjadi tanggung jawabnya. Apakah kita harus bersantai-santai dan sah mengabaikan deadline kalau teman satu tim kita tidak peduli, bahkan tidak bekerja sama sekali?
Mengukur Kinerja
Saya ingat ketika mengawali karier sebagai wartawan Suara Pembaruan di pertengahan tahun 80-an. Suasana kerja di media itu bisa dikatakan kurang mendukung akibat konflik internal para pemimpinnya yang tak kunjung usai. Budaya kerja yang kurang kondusif membuat sejumlah wartawan mempengaruhi wartawan lainnya untuk tidak perlu bekerja maksimal sehingga muncul istilah “bekerja sesuai argo”. Bekerja secukupnya saja karena rajin atau malas toh sama saja, tidak akan mempengaruhi apa-apa. Gaji dan karier pada saat itu, bukan dinilai dari prestasi tetapi konon ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam mendekati pimpinan.
Beruntung karena saya suka menulis, apalagi sebagai wartawan baru, maka apa pun informasi yang saya peroleh di lapangan saya tuangkan dalam bentuk tulisan. Cerita-cerita menarik yang sayang untuk dilewatkan saya tulis dalam bentuk kronik. Problematika yang mengundang perhatian publik saya rangkum dalam tulisan analisis maupun feature sehingga tulisan bisa dimuat dengan mencantumkan nama penulis.
Saat itu yang ada dalam pikiran saya hanyalah lebih banyak menulis selain untuk mengasah kemampuan, memperluas jaringan, juga untuk membuat namaku semakin dikenal pembaca. Sampai di sini, sebenarnya siapakah majikan kita? Bagi saya, dari dulu sampai sekarang, majikan kita adalah diri kita sendiri sekalipun kita berada pada posisi “orang gajian”. Menjadi majikan untuk diri sendiri adalah pilihan, bukan ditentukan status kepegawaian kita.
Seorang menteri memang pembantu presiden. Namun apakah tepat bila dalam melakukan publikasi dan sosialisasi, audience utamanya adalah sang majikan atau presiden? Bukankah ada mekanisme tersendiri yang bisa dilakukan untuk menyampaikan laporan dari menteri kepada presiden dan bukan menggunakan dana sosialisasi yang seharusnya digunakan untuk mensosialisasikan kinerja menteri pada rakyat? Apakah kita akan berlaku seperti buruh bayaran yang hanya bekerja ketika sang mandor ada di sekitar kita untuk mengawasi dan mengejar-ngejar target yang ditetapkan pada para pekerjanya?
“Personal Branding”
Bagaimana cara kita bersikap dalam melaksanakan pekerjaan bisa ditarik dalam telaah yang disebut personal branding. Dalam bahasa yang sederhana, personal branding berarti bagaimana seseorang membranding atau memberi merk atau memberi tanda, ciri khas, dirinya agar dikenal oleh publik.
Personal branding ditentukan oleh style, kompetensi, dan standar yang sudah ditentukan sendiri oleh seseorang yang ingin membranding dirinya. Dalam hal menteri yang saya maksud dalam ilustrasi ini, perlu kita pertanyakan apakah dia memiliki kompetensi dalam menjalankan pekerjaannya sehingga ia lebih merasa penting mengkomunikasikan pada majikannya bahwa dia bisa bekerja dengan baik. Apakah model komunikasi yang dilakukannya itu bukan merupakan gaya memperoleh pujian dan penghargaan dari sang majikan?
Dan mengapakah dia tidak menggunakan standar-standar yang sudah ditetapkan dalam menjalankan tugas sehingga ukuran keberhasilannya menjadi lebih jelas. Akan halnya teman saya yang menjawab sekenanya bahkan berkecenderungan mau bekerja kalau orang lain juga bekerja juga akan membentuk brand tersendiri bagi dirinya. Sekalipun memiliki kapabilitas tetapi bila tidak memiliki gaya dan standar untuk mencapai prestasi maka ia akan diingat sebagai seorang yang cakap tetapi memiliki beberapa catatan. Maka tak jarang kita akan mendengar komentar orang, “dia memang bagus tetapi kalau mau kerja dengannya musti bla bla bla…”
Kompetensi, gaya, dan standard, itulah tiga pilar yang akan membentuk personal branding seseorang. Maka satu hal yang ingin saya katakan adalah, bagaimana kompetensi yang kita miliki dapat dimaksimalkan dalam menjalankan pekerjaan dengan gaya dan standar yang sudah ditentukan dan disepakati itulah yang akan membentuk personal branding seseorang. Lalu mengapa personal branding menjadi penting sementara seseorang sudah memiliki pekerjaan? Bukankah cukup dengan memuaskan majikan seperti yang dilakukan menteri dalam contoh ini?
Di era yang disebut agraris, menjadi pegawai pemerintah merupakan sebuah kebanggaan yang luar biasa maka hampir setiap keluarga akan mengusahakan anak-anaknya menjadi pegawai pemerintahan baik di militer maupun pegawai negeri sipil.
Era itu bergeser ketika industri mulai berkembang sehingga orang-orang yang memiliki prestasi akademik lebih memilih bekerja di sektor swasta yang lebih memberi penghargaan pada kinerja dan prestasi. Era itu pun mulai usang ketika informasi memutarbalikkan segala apa yang sudah tersusun sebelumnya. Pintar saja tidak cukup karena ia harus bisa mengkomunikasikan kepintarannya agar orang lain tahu kompetensi apa yang dimilikinya. Di era ini, generasi muda mulai kurang tertarik menjadi pegawai pemerintah maupun pegawai swasta dengan istilah eigth to five.
Generasi baru yang dipengaruhi kemudahan informasi dan komunikasi membuat mereka enggan mengikatkan dirinya pada jam kerja dari pagi sampai sore sehingga kreativitas tidak bisa berkembang. Di sinilah relevansi untuk mengembangkan personal branding dalam menjawab tantangan di era yang serba terbuka, cepat, dan mudah dengan berbagai media komunikasi yang ada. Hidup di era informasi saat ini, “nasib” seseorang tidak semata tergantung pada majikan tetapi lebih pada bagaimana seseorang bisa memanifestasikan kapabilitasnya dalam kinerja yang berkualits dan dengan gaya dan standar yang terpercaya.
Majikan kita adalah diri kita sendiri yang dari hari ke hari membangun image tentang kualitas dan kapabilitas dalam bekerja. Bukan tergantung pada siapa yang membayar kita tetapi pada integritas kita dalam menjalankan pekerjaan kita. Karena ketika kita melaksanakan pekerjaan, pada saat itulah sebenarnya penilaian atas kinerja kita sudah dimulai. Bukan hanya pada hasil di akhir, tetapi sejak pada perencanaan, proses pelaksanaan hingga pada akhir pekerjaan.