JAKARTA—Judul tulisan ini berasal dari pernyataan seorang ayah yang tanpa sengaja mampir di telingaku, Sabtu (28/3). Ketika itu sang ayah berusaha menghibur anak perempuannya—mungkin karena anak bungsu jadi dipanggil Dik—yang menggerutu karena becek dan licinnya jalanan akibat hujan deras yang sebelumnya mengguyur beberapa kawasan, termasuk kawasan yang baru saja dilanda bencana, Situ Gintung.
Tak selang jauh dari pernyataan ayah pada anak perempuannya itu, seorang laki-laki yang persis berjalan di depanku terjerembab karena tidak bisa menguasai keseimbangan ketika kakinya menginjak jalanan yang memang sangat licin. Tak ada yang menolong, semua sibuk sendiri. Ia sendiri tengkurap berkubang lumpur.
Anak kecil yang menurut perkiraanku belum genap berusia satu tahun digendong ayahnya untuk memenuhi hasrat orang tuanya menyaksikan danau yang airnya, Jumat dini hari, meluluhlantakkan perkampungan di bawahnya. Ada juga seorang perempuan dengan sepatu berhak 5 cm berpegangan erat pada lelaki di sebelahnya karena lumpur tidak memungkinkannya berjalan tanpa dibimbing sementara hak sepatu dan kostum yang dikenakannya sama sekali tak dimaksudkan untuk kawasan berlumpur itu.
Masih banyak jenis warga masyarakat yang memadati Situ Gintung. Rombongan anak remaja masih berseragam sekolah menengah, rombongan karyawan yang juga masih berseragam, menandakan baru saja pulang kerja, dan berbagai rombongan lainnya yang tak sempat kuidentifikasi satu per satu. Pada umumnya pengunjung membawa kamera kecil atau telepon selular yang dilengkapi camera untuk mengabadikan kehadiran mereka di sana.
Aku tak yakin bisa memprediksikan berapa banyak warga masyarakat yang pada hari itu menuju ke Situ Gintung untuk berbagai alasan. Sebagai gambaran, perjalanan kami mengantar sejumlah bantuan bisa menjelaskan betapa Situ Gintung sudah menjadi “objek wisata” baru yang paling digemari.
Setelah melengkapi berbagai kebutuhan bantuan bencana di salah satu pusat perbelanjaan di Lebak Bulus, perjalanan yang semula akan menempuh jalan melalui Jalan Ciputat Raya terpaksa berputar arah dan beralih melalui Jalan Cirendeu Raya. Tak ada jalan yang dapat dikatakan lengang. Kedua arah jalan padat merayap. Sejak meninggalkan pusat perbelanjaan jam 12.00 baru tiba di Jalan Gunung sekitar jam 16.00.
Empat jam perjalanan ditempuh dengan mengendarai mobil, berjalan kaki karena kepadatan lalu lintas benar-benar membuat badan pegal dan kaku, dilanjutkan dengan naik motor agar nasi bungkus dapat segera sampai ke tangan para korban yang membutuhkan.
Ruas Jalan Gunung yang kami jadikan jalur untuk mengirim bantuan benar-benar membuatku takjub. Mobil dan motor berebut bergantian meminta jalan untuk saling mendahului. Padahal lebar jalan itu hanya bisa dilalui dua mobil berpapasan dengan space di antara dua mobil itu sangat tipis. Di kiri kanan jalan rumah-rumah penduduk maupun fasilitas umum yang memiliki halaman cukup, menyediakan tempat parkir, tentu saja tidak gratis.
Aku malu telah ikut dalam kerumunan massa yang menyemut. Biasanya kami menitipkan sumbangan pada posko-posko yang kami anggap dapat menyalurkan bantuan dengan baik. Akan tetapi kami memang tak punya banyak pilihan selain mengantar sendiri sumbangan karena sehari sebelumnya seorang teman yang telah sampai di lokasi menyaksikan banyaknya korban yang belum makan hingga malam. Para korban tidak bisa masak. Jangankan masak, air bersih pun sangat minim. Melihat padatnya lalu lintas dan padatnya pengunjung di lokasi, jelas menyulitkan proses evakuasi dan pengiriman bantuan.
Ini bukan outbond kawan. Kalau pun ada yang menganggap Situ Gintung pasca bencana sebagai alternative outbond, jelas ini tidak gratis. Puluhan orang harus meninggal agar kawan-kawan pergi ke Situ Gintung. Satu hal lagi, kawan, kalau hidup boleh memilih, aku tak akan mengorbankan siapa pun hanya agar sebuah kawasan “pantas” menjadi “objek wisata” baru. Ini bencana, kawan, bukan outbond dan ini benar-benar tidak gratis…
Minggu, 29 Maret 2009