Oleh Wartawan SH
Kristin Samah
JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 24 partai politik (parpol) sebagai peserta Pemilu 2004. Jumlah ini meleset dari perkiraan sebelumnya.
Banyak kalangan memperkirakan jumlah peserta pemilu akan melebihi angka 48—jumlah peserta Pemilu 1999. Hal ini didasari banyaknya partai politik yang mendaftar dan dinyatakan sah oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeham), yaitu sebanyak 273 parpol.
Sementara sejumlah surat kabar memprediksi peserta pemilu tidak akan lebih dari 20 partai. Prediksi ini hasil ”utak-atik” hasil verifikasi yang dilakukan KPUD yang masuknya ke KPU tidak serempak. Spekulasi jumlah partai peserta pemilu terjawab sudah ketika KPU mengumumkannya secara bertahap dan terakhir Minggu (6/12) malam.
Dilihat dari asas parpol yang lolos sebagai peserta pemilu ini, terdapat perubahan yang cukup berarti. Kalau pada Pemilu 1999 hanya terdapat partai berasas Pancasila dan Islam, pada Pemilu 2004 mendatang terdapat partai berasas Pancasila, Islam, Marhaenisme Bung Karno, dan Partai berasas Keadilan, Demokrasi, Kemajemukan.
Partai bernuansa keagamaan nyaris ”tersisih” dari percaturan politik Indonesia. Partai berasas Islam, misalnya, pada Pemilu 1999 terdapat 12 partai yang ikut pemilu. Kali ini hanya lima partai berasas Islam yang ditetapkan sebagai peserta. Sedangkan partai berasas Pancasila yang pada Pemilu 1999 terdapat 36 partai, pada Pemilu 2004 menyusut menjadi 17 partai.
Partai bernuansa Kristen, yaitu Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) yang pada Pemilu 1999 berhasil menempatkan lima orang wakilnya di DPR tidak mampu bertahan melanjutkan perjuangannya pada Pemilu 2004. Demikian juga Partai Katolik Demokrat hanya berhasil menempatkan satu orang wakilnya di DPR.
Satu-satunya partai bernuansa Kristen yang berhasil lolos verifikasi KPU adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) pimpinan Ruyandi Mustika Hutasoit. Sekalipun mencantumkan Pancasila sebagai asas, tetapi kelahiran Partai Damai Sejahtera yang dibidani 20 pendeta dilatarbelakangi kekecewaan pada politisi Kristen yang kurang memperjuangkan aspirasi umat.
Praktis, penetapan partai politik peserta pemilihan umum ini telah ”meminggirkan” partai-partai berbasis Kristen dan Katolik dari percaturan politik Indonesia. Dari asas yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai, hanya partai berasas Pancasila, UUD 1945, Marhaenisme Bung Karno, dan Islam yang turut meramaikan Pemilu 2004 mendatang.
Asas Partai
Dari 24 partai peserta pemilu, 16 partai menyebut Pancasila atau Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas.
Partai-partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, Partai Serikat Indonesia, Partai Damai Sejahtera, Partai Patriot Pancasila, Partai Pelopor, Partai Merdeka, Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Daerah.
Sedangkan partai berasas Marhaenisme Bung Karno tercatat hanya Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, dan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. Berbeda dengan partai lainnya, Partai Indonesia Baru meletakkan Keadilan, Demokrasi, Kemajemukan, dan Pancasila sebagai asas.
Lima partai yang menyebutkan Islam sebagai asas adalah Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia.
Selain asas yang secara tegas dicantumkan dalam setiap AD/ ART partai, terdapat sejumlah partai berasaskan Pancasila tetapi memiliki nuansa keagamaan seperti Partai Damai Sejahtera yang kelahirannya dibidani 20 pendeta Kristen. Sedangkan partai bernuansa Islam yang mencantumkan Pancasila sebagai asas adalah Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Serikat Indonesia.
Berkurangnya jumlah partai berasas Islam dalam Pemilu 2004 sayangnya tidak dapat diartikan terjadinya pengkristalan kekuatan Islam dalam lima partai peserta Pemilu 2004. Hal ini dapat dilihat dari partai-partai Islam yang menjadi peserta pemilu. Di antara jumlah itu bukan peleburan partai-partai Islam yang ada ke dalam beberapa partai, tetapi yang terjadi justru muncul partai baru seperti Partai Bintang Reformasi pimpinan KH Zainuddin MZ yang merupakan pecahan dari Partai Persatuan Pembangunan.
Demikian halnya dengan Partai bernuansa Kristen dan Katolik yang pada Pemilu 1999 terdapat Partai Kristen Nasional, Partai Demokrasi Kasih Bangsa, Partai Katolik Demokrat, Partai Cinta Damai, ternyata tidak mampu bertahan sampai Pemilu 2004.
Pergeseran ini seharusnya dapat dilihat sebagai kesadaran bahwa urusan agama seharusnya menjadi wilayah yang terpisah dari urusan negara. Dengan kata lain, urusan negara yang diawali dari pertarungan partai-partai politik bukanlah urusan kelompok agama-agama tertentu.
Proses Seleksi
Kalau dilihat dari proses seleksi partai politik yang dilakukan KPU, terdapat pergeseran yang cukup prinsipil. Proses seleksi partai pada Pemilu 1999 relatif lebih longgar dibanding Pemilu 2004. Hal ini dapat dilihat dari jumlah partai politik yang berhasil duduk sebagai peserta. Dari 48 partai pada Pemilu 1999 merosot menjadi 24 partai pada Pemilu 2004.
Seleksi KPU pada Pemilu 1999 dapat dikatakan lebih demokratis daripada seleksi partai yang dilakukan pada Pemilu 2004. Seleksi partai yang dilakukan untuk Pemilu 2004 dilakukan secara bertahap melalui birokrasi. Dengan kata lain, saringan birokrasi-lah yang sebenarnya menyeleksi kelayakan partai politik peserta pemilu dengan mengukur jumlah pengurus, jumlah cabang, jumlah anggota, dan seterusnya.
Padahal, seleksi partai politik yang dilakukan pada Pemilu 1999 terbukti sangat ampuh untuk menguji ”ketokohan” seseorang di tingkat nasional. Muchtar Pakpahan, misalnya, yang pada periode 1996-1997 dipandang sebagai tokoh nasional yang mampu menggerakkan buruh seluruh Indonesia, ternyata tidak teruji ketika harus ikut dalam Pemilu 1999 di bawah payung Partai Buruh Nasional. Partai pimpinan Muchtar Pakpahan ini tidak mampu mendudukkan satu pun wakilnya di DPR. Demikian juga ujian bagi Sri Bintang Pamungkas dengan Partai Uni Demokrasi Indonesia. Sri Bintang yang pernah dijadikan icon untuk presiden masa depan ternyata juga tidak mampu berbuat apa-apa ketika dihadapkan pada pemilihan umum.
Nasib yang sama juga berlaku bagi Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sujatmiko. Partai yang sempat menjadi simbol perlawanan kaum muda terhadap rezim Orde Baru justru terpuruk dalam pertarungan politik yang demokratis. Padahal dalam Pemilu 1999 inilah sebenarnya mayoritas pemilih adalah kaum muda. Partai ini bukan hanya tidak sanggup mendudukkan wakilnya di DPR, dari sisi jumlah pemilihnya pun dapat dihitung dalam jumlah ribuan.
Partai politik, akhirnya, bukanlah diukur dari kevokalan suara dalam menentang kebijakan pemerintah. Partai juga bukan soal agama dan keyakinan. Demikian juga partai politik bukan soal kepintaran yang diukur dari gelar akademis. Atau pun juga, keberhasilan partai politik bukan soal tampilan di media cetak maupun elektronik. Pada akhirnya, rakyat jualah yang akan menjadi hakim yang memutuskan layak tidaknya sebuah partai dipercaya untuk membawa aspirasi mereka. Sekalipun demikian, jika pilihan rakyat nantinya jatuh pada partai politik yang masih kental unsur primordialisme, kharisma tokoh, atau bahkan permainan uang, maka memang baru pada tahapan itulah kualitas demokrasi Indonesia. (***)
SINAR HARAPAN 8 DESEMBER 2003