Membaca Perubahan Konstitusi dari Cermin Politik Hatta
Oleh Wartawan ”SH”
Kristin Samah dan Helmy Fauzi
JAKARTA – Akhir pekan lalu, rakyat Indonesia dapat menyaksikan perdebatan wakil-wakilnya di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ST MPR). Dibanding sidang MPR tahun sebelumnya, ST MPR kali ini tergolong istimewa karena mengagendakan perubahan keempat – yang merupakan tahapan terakhir – Undang-undang Dasar 1945.
Satu hal yang membuat sidang berjalan alot adalah soal Pasal 29 tentang agama. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), Fraksi Perserikatan Daulatul Umat (FPDU) mengusulkan agar dicantumkan tujuh kata Piagam Jakarta — dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya — ke dalam Pasal 29. Sedangkan Fraksi Reformasi mengusulkan pencantuman “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya.”
Perdebatan anggota MPR tentang pencantuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta ini mengingatkan sikap seorang negarawan, yang hari ini kita peringati 100 tahun kelahirannya. Tokoh yang lebih dikenal dengan panggilan “Bung Hatta”, turut menentukan dicantumkan tidaknya tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 sore, Hatta memperoleh informasi dari intelijen Jepang bahwa pencantuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu akan mendorong beberapa daerah seperti Sulawesi Utara, sebagian Maluku, dan Nusa Tenggara Timur memilih melepaskan diri dari Indonesia yang baru saja diproklamasikan.
Dari buku Mohammad Hatta Biografi Politik tulisan Deliar Noer dijelaskan, sekalipun memperoleh informasi dari seorang perwira Jepang, sebenarnya Hatta sudah memiliki pendirian sendiri bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta harus hilang atau diganti. Alasan mendasar Hatta adalah bahwa agama hendaknya terpisah dari negara.
Justru karena pemeluk agama Islam merupakan mayoritas di Indonesia, maka Hatta merasa kurang perlu menekankan pada tingkat undang-undang dasar, hal-hal yang Islami seperti tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Agama merupakan tanggung jawab masyarakat, bukan tanggung jawab negara.
Dari berbagai referensi yang mengisahkan perjalanan politik Hatta, dapat disimpulkan bahwa tokoh yang berpuluh tahun berada dalam pusaran kekuasaan Indonesia ini memiliki dasar keislaman yang sangat kuat. Jadi, jelas alasan mengubah Pasal 29 itu bukan karena Hatta tidak menghayati ajaran-ajaran Islam tetapi lebih pada kematangan Hatta dalam berpolitik.
Ketatanegaraan Modern
Kesadaran Hatta untuk membentuk sebuah negara dengan sistem ketatanegaraan modern bukan hanya tercermin dalam sikap dan pendiriannya tentang agama dalam undang-undang dasar tetapi juga dalam pasal-pasal lainnya, yang saat ini sudah diamendemen MPR. Sebut misalnya Pasal 28 yang mengatur tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Pencantuman Pasal 28 ini sebenarnya mendapat tentangan dari Soekarno dan Supomo yang tidak menginginkan pencantuman hak-hak tersebut dalam UUD karena hak-hak tersebut merupakan bentuk individualisme di Barat. Hatta menegaskan, pencantuman hak warga negara dalam UUD bukan bentuk individualisme.
Ia justru mengkhawatirkan apabila hak berpendapat tidak dijamin, “mungkin terjadi [nanti] satu bentukan negara yang tidak kita setujui.” Mungkin timbul oleh kehampaan itu suatu kadaver-discipline, disiplin buta, asal ikut pemimpin saja. Disiplin seperti ini dilihat Hatta di Rusia dan Jerman.
Argumen yang disampaikan Hatta ini jelas menunjukkan ketajaman yang dimiliki politisi asal Minangkabau ini. Hak berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat yang sudah dijamin UUD pun, pada masa pemerintahan Orde Baru masih bisa diselewengkan sehingga pada masa pemerintahan Soeharto tidak ada warga negara yang bebas menyampaikan pendapat yang berseberangan dengan pemerintah.
“Negara yang hendak kita bangun, hendaklah disertai ‘syarat-syarat supaya…jangan menjadi negara kekuasaan.
Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat.
Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan…negara baru itu satu negara kekuasaan.”
“Pelajaran” yang diberikan Orde Baru dalam hal penghargaan terhadap hak asasi manusia ini tampaknya sudah diprediksikan Hatta sebelumnya. Tidak tanggung-tanggung, “perampasan” hak asasi manusia yang dilakukan Orde Baru, membuahkan perubahan Pasal 28 UUD’45 menjadi Pasal 28A-28J yang mengatur hak asasi manusia secara lebih komprehensif.
Dalam hal bentuk negara, pemikiran Hatta tercermin pada keinginannya memberikan otonomi luas pada daerah-daerah. Pada awalnya Hatta kurang menyetujui bentuk negara kesatuan mengingat komposisi daerah Indonesia yang memiliki keberagaman penduduk dan kebudayaan. Bentuk negara kesatuan akhirnya disetujuinya dengan pengertian bahwa negara kesatuan tersebut disertai otonomi luas untuk daerah-daerah.
Ekonomi Kerakyatan
Di bidang ekonomi, jejak politik Hatta tidak perlu dipertanyakan lagi. Konsep ekonomi kerakyatan terwujud dalam bentuk koperasi. Hatta menekankan perlunya membangun perekonomian berdasarkan kekeluargaan, solidaritas yang kuat. Pemikirannya tentang bentuk usaha koperasi tidak terlepas dari pengalamannya berinteraksi di negara-negara Skandinavia.
Bentuk usaha koperasi yang diidealkan Bung Hatta adalah bentuk usaha yang mengembangkan kemampuan rakyat sendiri, dimana rakyat mampu memberdayakan ekonomi melalui komunitas anggota koperasi. Koperasi bagi Bung Hatta diharapkan dapat menjadi media katalisator antara sistem ekonomi pasar yang cenderung kapitalis terhadap sistem ekonomi rakyat yang pada umumnya berada dalam skala kecil dan dengan segala keterbatasan ekonomi rakyat.
Dalam implementasinya, koperasi yang diidealkan Bung Hatta tidak sepenuhnya dapat terwujud. Kembali lagi Orde Baru “mengacaukan” sistem ekonomi Indonesia yang dirancang berbasis pada ekonomi rakyat, telah tumbuh menjadi konglomerasi. Keinginan menciptakan tricle down effect dari pertumbuhan ekonomi yang dikuasai sekelompok penguasa, ternyata hanya ibarat menggantang asap.
Krisis moneter yang menjalar menjadi krisis ekonomi dan krisis politik membuktikan bahwa ekonomi rakyat dapat menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Ketika para pengusaha yang sebelumnya bangga dengan sebutan konglomerat, tumbang satu per satu, pengusaha kecil justru menunjukkan eksistensinya melalui usaha informal yang tetap bertahan meskipun badai krisis melanda.
Seakan-akan ingin kembali pada dasar perekonomian yang diletakkan Bung Hatta, MPR melalui amendemen keempat menambah pasal tentang ekonomi yang menyebut, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Dalam pemikiran ekonomi-politik Hatta, tampak jelas keberpihakannya pada golongan yang secara sosial ekonomi termarginalisasi. Ia dengan tegas menolak sistem ekonomi pasar yang mengutamakan persaingan bebas antar pelaku ekonomi, sebagai format ekonomi Indonesia Merdeka. Bagi Hatta, sarana-sarana produksi – seperti misalnya tanah yang digarap kaum tani – bukan semata-mata dilihat untuk menjalankan fungsi pribadi melainkan sebagai fungsi sosial yang harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat banyak. Hatta misalnya merujuk pada semangat kolektivisme kepada kepemilikan tanah di pedesaan yang tidak mengenal hak milik tanah secara perseorangan. Meskipun ia juga menyadari perkembangan proses individualisasi dalam sarana produksi, hal itu tidak harus melenyapkan watak kolektivisme, yakni sifat perkauman untuk menggunakan sarana tersebut demi kepentingan bersama. Sebagaimana tokoh pergerakan lainnya, seperti Bung Karno, Sutan Syahrir dan Tan Malaka, paham dan perjuangan Bung Hatta dalam menegakkan prinsip-prinsip ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil sangat dipengaruhi oleh metode analisa yang ditawarkan Marxisme dan perkembangan pemikiran sosialisme yang digelutinya baik tatkala belajar di Eropa maupun yang dipetiknya di alam pergerakan nasional.
Bagi Hatta semua paham sosialisme berada pada suatu garis benang merah yakni “menghendaki suatu pergaulan hidup di mana tidak ada lagi penindasan dan penghisapan, dan dijamin bagi rakyat bagi tiap-tiap orang, kemakmuran dan kepastian penghidupan serta perkembangan kepribadian.”
Jika terdapat perbedaan Hatta dengan tokoh pergerakan nasional lainnya menyangkut paham sosialisme adalah terletak pada jalan untuk mencapainya. Hatta menekankan perlunya perjuangan sosialisme dilakukan dengan terencana dan dipelopori oleh orang-orang yang berkomitmen dan berkeyakinan untuk itu. Jika tidak akan terjadi kesenjangan antara teori dan praktek politik dalam mewujudkannya.
Dan kini tatkala kita merayakan 100 tahun Bung Hatta, di tengah arus deras globalisasi dan privatisasi yang melanda negeri ini, pertanyaan yang datang menggelitik adalah masih adakah tersisa jejak paham dan haluan sistem ekonomi sebagaimana yang menjadi pilihan Bung Hatta serta founding fathers kita pada umumnya. Atau mungkin kita telah terlalu jauh berjalan- alan salah arah. (SH/helmy fauzi/ kristin samah)
SINAR HARAPAN 12 Agustus 2002