“Anaknya sudah berapa bu?” Pertanyaan itu lazim disampaikan di antara dua sahabat yang sudah lama tidak ketemu. Kalau mau sedikit ambil risiko, minimal digaplok, paling banter didiamin seumur hidup, pertanyaan bisa diubah menjadi agak lain. ”Dah cerai belum bu?” Atau kalau mau lebih ekstrim sedikit, bisa juga caranya nanyanya menjadi, ”Suaminya dah berapa bu…” Maklum karena yang nulis ibu-ibu jadi ilustrasinya ya ibu-ibu juga. Tidak bermaksud diskriminatif lho, bapak-bapak.

Sapaan pada kawan lama itu sekarang ini sudah mulai mengalami pergeseran. Di Tahun Politik—meminjam istilah Imelda—ada pertanyaan yang lazim saya dengar belakangan ini. ”Nyaleg dimana bu?” Nyaleg loh—nyalon legislatif—bukan ngulek. Dan ternyata, dari sepuluh orang yang saya tanya, lima orang di antaranya mengaku telah terdaftar sebagai calon legislatif dari berbagai partai.

Alasan menjadi caleg pun bermacam ragam. Seorang teman yang minta tolong dibantuin membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), ketika datang ke kantor menjadikan permintaan teman sebagai alasan. “Yah… bagaimana mau nolak, kalau teman bikin partai lalu minta kita jadi caleg, nggak enak menolaknya,” ujarnya tidak yakin dengan jawabannya sendiri.

Jarang sekali saya mendengar teman-teman yang kebetulan saya tanya menyampaikan alasannya seperti Mahapatih Gadjah Mada dalam novel Langit Kresna Hariadi. “Saya ingin menjadi caleg karena ketika saya berkunjung ke Sidoarjo saya tidak tahan melihat penderitaan rakyat. Maka saya bertekad maju jadi caleg—catat janji saya—kalau saya terpilih saya akan berjuang agar kekayaan orang-orang yang menyebabkan bencana terjadi disita kemudian dibagikan sama rata pada rakyat yang kehilangan rumah dan mata pencaharian.” Konkret gitu loh.

Nyaleg memang sudah menjadi trend. Oleh karena itu, ngompol, alias ngomong politik, sudah menjadi basa-basi pada saat arisan, pertemuan keluarga, bahkan pada saat-saat yang sebenarnya membutuhkan kekhusukan seperti ketika sedang beribadat.

Menjelang berakhirnya penutupan penyerahan daftar calon legislatif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 September 2008, saya sempat dibikin diam terpaku. Bukan hanya saking kagetnya melihat daftar nama calon dari salah satu partai politik baru tetapi juga karena tanpa sengaja jari tangan saya masuk ke dalam stop kontak rumah temanku.

Ketika kutanya siapa saja orang-orang yang dicantumkan sebagai calon legislatif, teman saya menjawab dengan enteng, ”Siapa saja, yang penting memenuhi kuota dulu, lagian belum tentu kok mereka jadi anggota legislatif.” Sebuah jawaban yang sangat masuk akal sekaligus mustahil bisa aku terima. Aku langsung terbayang Al Amin Nasution, Max Moein, Bulyan Royan, Antony Zeindra, dan seterusnya.

Kalau dalam pelajaran ilmu politik, ini merupakan salah satu bentuk rekruitmen politik. Andai saja ada satu saja partai politik yang benar-benar menjalankan fungsi partai, maka tahapan-tahapan menjelang pemilihan umum adalah tahapan-tahapan yang sangat menarik untuk disaksikan.

Bagaimana sebuah partai akan mempertanggungjawabkan suara rakyat kalau calon-calon yang dipajang ”asal ada” untuk memenuhi kuota. Ya kalau nama-nama yang dicantumkan itu benar-benar tidak jadi. Bagaimana kalau tiba-tiba entah kekuatan apa yang menyebabkan sebuah partai memperoleh suara berlebih dan nama-nama yang tidak pernah diproyeksikan terpilih ternyata benar-benar duduk menjadi anggota legislatif di Senayan?

Semestinya ada beauty contest untuk calon legislatif. Biar rakyat benar-benar menilai sejarah perjuangan yang sudah dilakukan si calon demi rakyat, minimal lingkungan sekitarnya. Lebih minim lagi untuk keluarga kecil dan keluarga besarnya.

Partai-partai mestinya sudah meninggalkan cara-cara lama dengan main gampang mencomot public figure yang belum diuji integritasnya sebagai vote getter. Dan rakyat sebagai pemilih semestinya juga mulai menghentikan gelengan kepala ketika mendengarkan, melihat, atau membaca berita di media massa tentang penangkapan anggota legislative dalam praktek-praktek korup yang terbukti telah menyengsarakan rakyat. Caranya adalah dengan mulai mengenal calon yang akan dipilih. Memilih calon yang benar-benar dikenal memiliki integritas, mudah-mudahan menjadi awal yang baik untuk memperbaiki kondisi yang memang sudah bobrok ini.