Suatu kali, anak kecil di rumahku makan lupis. Entah bagaimana awal mulanya, kuah gula yang oleh orang Jawa disebut kinco itu menempel di atas bibirnya sehingga menyerupai kumis. Aku yang ada di sebelahnya, tertawa melihat celemotan di mulutnya. Mukanya lucu sekali karena tidak mengerti apa yang kutertawakan. Ketika akhirnya paham, ia ikut tertawa.
Di gigitan berikutnya, ia mencoba lagi membuat hal yang kurang lebih sama. Aku masih tertawa tetapi tak merasakan kelucuan. Ia merasa ada yang salah dengan “kumisnya” jadi ia mencoba lagi dan mencoba lagi. Aku mulai diam saja.
“Kenapa Ibu tidak tertawa lagi?”
“Sudah enggak lucu,” kataku. Ia memaksa aku menjelaskan mengapa tadi tertawa ngakak tapi kemudian ketika diulang tidak lucu lagi? Memangnya lucu tidak berlaku lama?
Iya nak, semua orang bikin kelucuan, kekeliruan, kesalahan. Tapi kalau sudah dikasih tahu, ditegur, masih diulang lagi, kelucuan akibat hal yang tidak pada tempatnya itu lama-lama membosankan. Keliru dan salah itu boleh saja terjadi, mungkin dianggap lucu dan dikomentari sana-sini, tapi kalau sudah berkali-kali, namanya caper, cari perhatian. Lama-lama menghadapi orang caper itu ya capek.
Anak kecil itu mengangguk sambil melirik padaku.
“Sudah dihabisin gatotnya…”
“Gatot? Ibu sedang melucu ya? pura-pura salah sebut nama makanan? Ini lupis, bukan gatot,” katanya serius. Aku tersenyum sendiri…