Mungkin ada yang menganggap saya lupa mencantumkan “anti” pada judul tulisan ini. Saya bersungguh-sungguh. Berita tentang pengungkapan kasus korupsi seperti menjadi sajian sehari-hari media massa.
Suatu hari di sebuah stasiun kereta api, berita sore di televisi mengulas penangkapan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi disertai dengan nilai uang yang dikorupsi dan modus yang dilakukan para pelaku.
Tentu saja maksud pemberitaan media adalah untuk memberi efek jera pada para pelaku dan koleganya untuk tidak melakukan tindak pidana yang sama. Sebuah berita yang telah disiarkan pada public akan diberi makna oleh public sesuai persepsi masing-masing. Paling tidak pembicaraan yang saya dengar di stasiun kereta itu bisa memberi gambarannya.
”Kalau satu orang saja bisa menerima ratusan juta, berapa uang negara yang dibagi-bagikan untuk anggota DPR?” orang pertama mengomentari berita tentang penangkapan Al Amien Nasution
Orang kedua menimpali dengan mengatakan bahwa sesungguhnya Indonesia adalah sebuah negara yang kaya raya.
”Tapi sekarang Indonesia kaya utang,” ujar orang kedua.
”Memang kalau mau cepat kaya, sekarang ini nggak usah kerja, ikut politik saja,” kembali orang pertama menyampaikan ide cemerlangnya.
”Ya iya lah, kalau ikut politik dan berhasil, ndak usah korupsi saja kan sudah banyak duit,” kata orang ketiga tak kalah semangatnya.
”Tapi kalo hanya dari duit resmi ndak cukup nutupi biaya macam-macam,” orang pertama kembali mengungkapkan pendapatnya.
Orang kedua yang tampaknya tidak terlalu setuju dengan ide orang pertama mengatakan, ”Buat apa kaya banyak duit kalo akhirnya masuk penjara, enakan juga jadi rakyat. Punya duit enak, ndak punya duit ya berhemat,” katanya
Menyempurnakan?
Pembicaraan selanjutnya memang cukup menakjubkan ketika orang pertama dan orang ketiga membahas bagaimana bodohnya orang-orang yang telah tertangkap itu melakukan praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Mereka sampai pada satu kesimpulan untuk lebih berhati-hati bila kelak ada kesempatan untuk menjadi anggota dewan.
Tentu saja percakapan itu hanyalah percakapan pembunuh waktu ketika kereta api yang akan mengantarkan mereka ke tujuan tak kunjung datang. Saya tidak melibatkan diri dalam percakapan, tak juga ingin menelisik apakah orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Percakapan di stasiun kereta api itu memang sempat mengusik pikiranku ketika pada kenyataannya berita tentang pemberantasan korupsi tak hanya memberi efek jera tetapi juga membuat pelaku dan calon pelaku lebih berhati-hati.
Kerisauanku itu menemukan bentuk yang lebih nyata ketika pada satu siang berkesempatan makan dengan seorang teman lama. Kali ini saya jamin teman lama ini benar-benar berminat menjadi anggota DPR. Paling tidak itu dibuktikan dengan kartu anggota partai yang dimilikinya. Ia pun telah resmi tercantum dalam DCT calon legislatif nomor satu di sebuah daerah pemilihan.
Di antara obrolan ringan dan berat yang kami lakukan sambil makan enak hingga memakan waktu hampir dua jam, sampailah kami pada pembicaraan korupsi di kalangan anggota DPR.
”Paling tidak, sekarang kita lebih siap dan lebih berhati-hati untuk menerima uang-uang kalau nanti jadi anggota DPR,” katanya. Saya pikir dia berkelakar. Tetapi melihat mimik dan penjelasan berikutnya, saya menyimpulkan bahwa ia tidak sedang bergurau.
”Dari kasus-kasus yang diungkap di media, misalnya, ternyata ada uang selamat datang dan uang-uang lainnya. Nanti ya harus lebih berhati-hati, dicari cara supaya tidak vulgar dan tidak di depan banyak orang,” katanya lebih lanjut.
Wah… belum jadi anggota DPR saja sudah bersiap mau menerima uang-uang, kataku. Temanku yang lain, yang bukan calon legislatif mengomentari lebih pedas.
”Bagaimana ini kualitas DPR akan lebih baik kalau calegnya seperti ini. Bukannya belajar cara bikin undang-undang, cara menyerap aspirasi rakyat, malah belajar cara menerima uang dengan aman,” katanya.
Tak ada yang marah, kami semua tertawa. Obrolan beralih pada topik lain yang lebih santai. Dalam perjalanan pulang, aku berpikir sangat keras—melebihi caleg yang berpikir bagaimana terima uang dengan aman. Apa yang salah dari pemberitaan media soal korupsi. Mengapa bukan efek jera yang saya temukan tetapi justru semakin banyak kasus korupsi terjadi dengan cara-cara yang disempurnakan. Mengapa bukan menghindari korupsi yang dilakukan tetapi justru menyempurnakan tindakan korupsi? Ingin sekali saya meyakini bahwa dua peristiwa itu hanyalah sebuah anomali, dan bukan sebuah gejala yang sedang terjadi di masyarakat. Apakah media harus berhenti memberitakan korupsi? TIDAK, jangan pernah jera bongkar korupsi…
Kristin Samah
12 November 2008