JAKARTA—Anakku, kau masih ingat masa-masa kutinggal di Plaza Senayan karena tiba-tiba ada pekerjaan yang harus kuselesaikan? Menitipkan dirimu di salah satu restaurant agar kau bisa makan sepuasnya tanpa harus membawa uang? Uh… kepuasanmu menikmati makanan enak tak akan mungkin dapat menebus rasa bersalahku karena aku harus menyelesaikan urusan yang tak berjalan sesuai jadwal. Maka aku bisa sangat memahami kesulitan seorang ibu yang tak ditemani sopir atau pembantu sementara anak-anaknya masih harus mendapat banyak pertolongan dan pendampingan.
Hari ini aku ke Plaza Senayan. Pusat perbelanjaan itu sudah lama tak kusambangi. Apalagi ketika kau memutuskan melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Sebuah keputusan yang luar biasa berani mengingat sebagian waktu senggangmu kau habiskan kongkow dengan teman sebaya di mall atau tempat nongkrong ABG yang sungguh tak terhitung jumlahnya di Jakarta ini.
Aku tak lagi bisa menempati tempat parkir favorit kita meskipun strategi menunggu dan jalan pelan-pelan sambil mencermati pergerakan orang yang keluar dari plaza sudah kulakukan. Bahkan lebih 15 menit aku menunggu tetap saja tak ada tempat parkir yang kosong.
Masuk pusat perbelanjaan pun semakin membuatku ragu tentang krisis global yang melanda dunia termasuk Indonesia. Produk-produk dari merek kelas dunia menjadi pemandangan pertama dari sisi mana pun kita masuk pusat perbelanjaan itu. Tak usah kusebut salah satu merek dan harga produknya. Satu hal yang sudah pasti, harga sebuah tas kecil sekalipun bisa kita pakai untuk menjamu lebih 50 orang anak yatim piatu di panti asuhan yang suka kau kunjungi di masa kecil selama sepekan berturut-turut.
Seperti biasa, tak ada tempat duduk di food court karena sebagian besar pengunjung masih menghabiskan sisa waktu istirahat makan siang dengan bersendau gurau. Mungkin aku kurang jeli mengamati, tapi tak kulihat kecemasan atau kekhawatiran di antara mereka yang duduk menikmati makanan enak itu terhadap ancaman krisis global.
Konsumerisme, menurutmu sama berbahayanya dengan korupsi itu sendiri. Maka aku pun ingat kejadian kecil yang selalu membuatku tertegun ketika aku ingin memberi tips kepada tukang parkir di pusat perbelanjaan.
Ketika itu kamu begitu penurut memenuhi permintaanku memberikan lembaran seribu rupiah pada tukang parkir yang telah menyediakan tempat parkir untuk kita. Hingga pada satu ketika engkau menjawab, “nggak mau” yang di mataku kuanggap sebagai pembangkangan.
“Kasih uang ini, kau harus belajar memberi kepada sesama,” kataku tak kalah sengitnya.
“Mama aja yang kasih, Resa enggak buta huruf,” katanya kesal ketika paksaanku menjengkelkannya.
“Maksudnya?” aku masih saja tak mengerti arah jawabannya.
Engkau kemudian menunjuk pada papan bertulis, “Dilarang Memberikan Tips”
Aku kalah telak, tak bisa bicara apa-apa. Dan kamu dengan gaya seorang pemenang semakin menjatuhkan nyaliku. “Kalau Mama buta huruf, kasih aja sendiri uang itu. Masa aku disuruh belajar menyuap tukang parkir untuk dapat tempat parkir ini?”
Ah… pantas saja kamu begitu suka mengajakku berkeliling Yogya dengan sepeda motormu. Atau memilih beli makanan untuk dimakan bersama di rumah bersama kakak dan adik sepupu daripada menikmati makanan di restaurant berdua denganku. Aku harus banyak belajar darimu.
Satu Hari Sepulang dari Plaza Senayan
